Saat ini, dunia sedang mengalami kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat. Sarana komunikasi dan informasi ibarat sebilah pisau yang dapat digunakan untuk menyebarkan kebaikan atau provokasi yang merugikan. Dengan banyaknya media sosial seperti WhatsApp, Twitter, YouTube, dan Facebook, penyebaran syiar-syiar agama, baik yang radikal maupun moderat, semakin mudah dilakukan. Pendakwah pun berbondong-bondong hijrah ke media sosial dengan alasan agar ajaran Islam bisa meluas dan dinikmati oleh banyak kaum Muslim, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Dakwah Islam melalui media sosial kini menjadi tren. Banyak orang yang hanya bermodal pengetahuan dari internet, tanpa pendidikan formal di pesantren, mengaku sebagai ustadz dan menyebarkan ceramah ke mana-mana. Mereka sering kali menganggap kebenaran hanya milik mereka, sementara yang lain dianggap salah. Meskipun semangat untuk berdakwah itu baik, penting untuk diingat bahwa menyebarkan provokasi dan kebathilan dalam nama agama adalah hal yang sangat keliru.
Ibnu Rusyd, seorang filosof Muslim ternama, pernah berkata, "Jika engkau ingin menguasai orang bodoh, maka bungkus lah dengan agama." Banyak cendekiawan Muslim lebih memilih untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di dunia nyata, mengajar di universitas, dan menulis buku, daripada terjun ke dunia maya yang penuh dengan omong kosong dan provokasi. Mereka yang absen dari dunia maya merasa muak dengan ustadz-ustadz Google yang sering meneriakkan haram dan bid'ah tanpa dasar yang kuat.
Lambat laun, dakwah melalui media sosial kehilangan esensinya. Jiwa terpenting dari dakwah seakan tergantikan oleh materi dan keuntungan. Pendakwah kini sering kali mengemas dakwahnya seperti menjual barang, menawarkan keuntungan dan keberuntungan bagi pemeluknya. Meskipun tidak sepenuhnya salah, hal ini mengalihkan perhatian dari nilai-nilai kebaikan, perkembangan jiwa, dan rasa empati kepada sesama.
Para pendakwah sering kali sibuk mengemas dakwah dengan atribut yang menarik dan kata-kata manis yang provokatif, tetapi sering kali melupakan esensinya. Dakwah seharusnya lebih dari sekadar penyebaran kata; itu harus melibatkan jiwa, berbagi, dan menciptakan rasa saling membantu. Sayangnya, saat ini, dakwah banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik, jabatan, dan harta, sehingga kehilangan fokus untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Ketika dakwah berubah menjadi profesi yang menguntungkan, hubungan antara pendakwah dan mustami' menjadi hubungan yang bersifat komersial. Setelah acara pengajian selesai, semangat Islam pendengar pun sering kali memudar karena hubungan yang terjalin bukanlah antara guru dan murid, melainkan antara penjual dan pembeli. Ini sangat memprihatinkan dan berpotensi merusak peradaban Islam.
Dalam konteks "bisnis agama", umat beragama menjadi "pasar" yang menggiurkan. Kaum kapitalis agama bisa berasal dari berbagai profesi, mulai dari klerik hingga jurnalis, yang memanfaatkan agama sebagai "produk" untuk meraih keuntungan ekonomi dan politik. Ini menciptakan situasi di mana agama tidak lagi berfungsi sebagai panduan moral, tetapi sekadar barang yang diperjualbelikan.
Sebagian umat beragama memang menjadi konsumen setia yang mudah terpengaruh untuk membeli produk-produk keagamaan. Hal ini menguntungkan bagi para pedagang agama, namun tidak semua orang bersedia "membeli" produk-produk tersebut. Kesadaran kritis masyarakat terhadap ajaran agama sangat penting untuk menghindari eksploitasi oleh kelompok tertentu.
Di Eropa atau Australia, seperti yang ditulis oleh Steve Bruce, minat terhadap agama mengalami penurunan. Penjualan produk-produk agama di sana tidak laku. Sebaliknya, di Amerika dan Indonesia, bisnis yang berkaitan dengan agama masih memiliki banyak peminat. Ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam cara masyarakat menerima dan mempraktikkan ajaran agama.
Salah satu cara untuk menjual agama adalah melalui politisasi. Para elit politik sering menggunakan simbol-simbol agama untuk mempengaruhi massa dan mendapatkan dukungan. Rakyat sering kali terpesona oleh citra pemimpin yang religius, tanpa mempertanyakan integritas mereka. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan menghilangkan esensi dari ajaran agama itu sendiri.
Penjualan agama juga terlihat dalam kelompok-kelompok yang menawarkan janji-janji kebahagiaan atau keselamatan spiritual. Mereka sering menggunakan retorika menakut-nakuti untuk menjaga kontrol atas pengikutnya. Ini mengeksploitasi kebutuhan spiritual masyarakat yang tulus, tetapi kurang pengetahuan untuk memahami ajaran agama secara kritis.