Iklan telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Dari produk kecantikan hingga makanan, iklan tidak hanya menjual barang, tetapi juga membentuk persepsi sosial. Dalam konteks ini, representasi perempuan dalam iklan seringkali menuai kritik. Apakah perempuan ditampilkan sebagai individu yang berdaya atau sekadar objek konsumsi? Pertanyaan ini menggugah pemikiran, terutama ketika kita mempertimbangkan pandangan para filsuf.
Salah satu kritik tajam terhadap representasi perempuan dalam iklan datang dari Ester Lianawati. Dalam bukunya Akhir Pejantanan Dunia, ia menyoroti bagaimana perempuan sering direduksi menjadi tiga esensi: perawan, ibu, dan pelacur. Ketiga esensi ini mencerminkan konstruksi sosial yang membatasi identitas perempuan. Perawan dianggap sebagai simbol kemurnian, ibu sebagai penghasil keturunan, dan pelacur sebagai objek kenikmatan. Representasi ini menciptakan narasi yang merugikan, di mana perempuan kehilangan otonomi atas tubuh mereka.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran feminis dari Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, di mana ia menekankan bahwa perempuan sering kali diposisikan sebagai "yang lain" dalam masyarakat patriarkal. Dengan kata lain, perempuan diidentifikasi melalui relasi mereka dengan laki-laki, bukan sebagai individu yang utuh. Ini menciptakan kesenjangan dalam representasi, di mana perempuan disajikan sebagai objek yang harus dikontrol atau dimiliki.
Di sisi lain, beberapa iklan berusaha menunjukkan perempuan dalam peran yang lebih positif. Misalnya, iklan yang menampilkan perempuan sebagai pemimpin atau profesional dapat memberikan pesan pemberdayaan. Namun, sering kali, representasi ini masih terjebak dalam stereotip, di mana perempuan harus tampil menarik dan memikat untuk diterima. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, iklan tetap beroperasi dalam kerangka patriarkal yang kuat.
Filsuf Judith Butler dalam Gender Trouble mengemukakan konsep performativitas gender, di mana identitas gender dibentuk melalui tindakan dan representasi. Iklan, sebagai medium, memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat norma-norma gender. Ketika perempuan ditampilkan dalam peran tradisional, mereka dipaksa untuk melakukan aktivitas yang mendukung stereotip tersebut, dan ini memperkuat pandangan bahwa mereka tidak memiliki otonomi nyata.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu alasannya adalah kekuatan industri periklanan yang mengandalkan norma-norma sosial yang sudah ada. Iklan berfungsi sebagai cermin masyarakat; oleh karena itu, mereka sering kali mereproduksi dan memperkuat bias gender yang ada. Hal ini menciptakan siklus di mana norma-norma patriarkal terus dipertahankan dan bahkan diperkuat.
Sementara itu, Cornelia Sorabji dalam The Law and the Women menyoroti pentingnya pendidikan dan kesadaran dalam memberdayakan perempuan. Ia berargumen bahwa dengan pengetahuan yang lebih baik, perempuan dapat mengambil alih narasi mereka sendiri. Namun, tanpa representasi yang tepat dalam iklan, perempuan mungkin kesulitan untuk melihat diri mereka dalam peran yang lebih luas dan berdaya.
Kita juga perlu mempertimbangkan dampak psikologis dari representasi ini. Menurut Naomi Wolf dalam The Beauty Myth, tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang ditetapkan oleh media dapat merusak kepercayaan diri perempuan. Iklan yang menekankan penampilan fisik sering kali menyiratkan bahwa nilai perempuan terletak pada penampilan, bukan pada kemampuan atau potensi mereka.
Di sisi lain, ada juga argumen bahwa iklan dapat menjadi alat pemberdayaan jika digunakan dengan cara yang tepat. Misalnya, iklan yang mengangkat isu-isu sosial dan menampilkan perempuan dalam peran yang beragam dapat membantu merubah persepsi publik. Ini menunjukkan bahwa iklan memiliki potensi untuk menjadi alat perubahan sosial, bukan hanya alat komodifikasi.