Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Mahasiswa - @paji_hajju

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Etika: Kritis vs Ujaran Kebencian

9 September 2024   02:28 Diperbarui: 9 September 2024   02:34 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polemik antara kritik dan ujaran kebencian | gambar: pinterest/ance's photography

Nafsu bisa membuat seorang raja menjadi budak. Sementara sabar bisa membuat seorang budak menjadi raja.

- Imam Ghazali

Di zaman digital saat ini, salah satu tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah membedakan antara kritik konstruktif dan ujaran kebencian. Banyak orang kesulitan untuk mengidentifikasi mana yang merupakan pendapat kritis dan mana yang merupakan komentar yang merendahkan atau menyerang.

Kritik dianggap sebagai elemen penting dalam proses demokrasi. Dalam hal ini, kritik bertujuan untuk membangun, memberikan masukan, dan mendorong perubahan yang positif. Namun, ketika kritik berubah menjadi serangan pribadi, maka muncul dilema etika.

Sementara itu, ujaran kebencian adalah bentuk ekspresi yang dapat membahayakan individu atau kelompok tertentu. Ujaran kebencian sering kali berasal dari stereotip, prasangka, atau kurangnya pemahaman terhadap kelompok tertentu, yang dapat memicu perpecahan dalam masyarakat.

Perdebatan antara hak berbicara dan tanggung jawab sosial semakin relevan. Di satu sisi, setiap orang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Namun, di sisi lain, terdapat tanggung jawab untuk memastikan bahwa pendapat tersebut tidak menyakiti orang lain.

Banyak platform media sosial menjadi ruang bagi individu untuk mengekspresikan pendapat. Namun, tanpa regulasi yang jelas, diskusi yang seharusnya kritis seringkali berubah menjadi ujaran kebencian.

Sebagai contoh, ketika seorang tokoh publik menyampaikan pendapat kontroversial, reaksi masyarakat bisa bervariasi, mulai dari dukungan hingga serangan yang sangat merendahkan. Ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kritik dan kebencian.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ujaran kebencian dapat memicu kekerasan dalam masyarakat. Ketika seseorang merasa diserang secara verbal, mereka mungkin merespons dengan cara yang lebih agresif, menciptakan siklus kekerasan yang sulit diatasi.

John Stuart Mill, seorang filsuf utilitarian, menekankan pentingnya kebebasan berekspresi. la berpendapat bahwa kritik, bahkan yang mungkin dianggap menyakitkan, adalah bagian penting dari diskursus publik. Menurutnya, membatasi kritik dapat menghambat pencarian kebenaran.

Baca juga: Nona dari Watohari

Di sisi lain, kritik yang konstruktif bisa membuka ruang untuk dialog dan pemahaman yang lebih baik. Misalnya, dalam konteks politik, kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak efektif bisa memicu perubahan positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun