Mohon tunggu...
Syarif Hidayatullah
Syarif Hidayatullah Mohon Tunggu... Dosen - Syarif Hidayatullah. lahir di Cirebon, 30 Januari 1970.. Sejak 1998 hingga sekarang, mengampu beberapa matakuliah di Fakultas Filsafat UGM, seperti: Agama Islam, Pengantar Studi Agama, Agama dan Sains, Agama dan Budaya, dan Studi Islam Kontekstual. Selain mengajar, Penulis juga berkiprah sebagai Editor in Chief Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM sejak 2016, Sebagai sekretaris Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI) Fakultas Filsafat UGM sejak 2015. Sejak 2014 hingga sekarang menjadi pembina Rajabandar (Gerakan Jauhi Bahaya Napza dan Rokok) UGM, sebuah komunitas dalam pembinaan Ditmawa UGM.

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Al-Fatihah sebagai Rukun Salat

15 Juni 2020   06:28 Diperbarui: 15 Juni 2020   06:46 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Syarif Hidayatullah. Menurut Syekh al-Imam al-Al'alim al-Fadhil Abi Abdul Mu'thy Muhammad Nawawi al-Bantani,dalam kitab Syarh Safinah al-Najah. Sebagai rukun keempat, membaca al-fatihah, boleh dengan cara hafalan, talqinan (dituntun oleh orang), atau dengan melihat mushaf atau sejenisnya, hingga dibantu dengan adanya alat penerangan bagi kegelapan. 

Membaca al-fatihah diwajibkan pada setiap rakaat, baik salat yang sirriyah (bersuara pelan) maupun salat yang jahriyah (bersuara keras), baik sebagai imam, makmum, ataupun yang salat sendiri. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh syaikhani (Bukhari dan Muslim), bahwa : "Laa shalata li man la yaqra-u bi fatihatil kitaab" (Tidak sah salatnya orang yang tidak membaca pembukanya kitaab (surah al-fatihah)".

Menurut Imam al-Bughawy dalam kitab al-Mashabih, sebagaimana dikutip imam Nawawi al-Bantani, Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: 

"Barangsiapa yang dalam salatnya tidak membaca ummul Quran (surah al-fatihah) maka ia termasuk khidaaj..khidaaj..khidaaj..atau tidak sempurna (terputus pahalanya, tidak sah)". Ketika Abu Hurairah ra. ditanya bagaimana jika kita di belakang imam (sebagai makmum), maka beliau menjawab: "Bacalah alfatihah oleh dirimu sendiri, karena saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah swt. membagi salat itu antara aku dan hambaku menjadi separuhan. Bagi hambaku adalah sesuatu yang ia permintakan, maka ketika ia berucap: "Alhamdulillahi Rabbil 'alamiin", maka Allah menimpalinya dengan mengatakan: "hambaku telah memujiku". Ketika hambaku berucap: "ar-Rahmaanir-Rahiim",  maka Allah menimpalinya dengan mengatakan: "hambaku telah memujiku". Ketika hambaku berucap: "maaliki yaumiddiin",    maka Allah menimpalinya dengan mengatakan: "hambaku telah mengagungkanku". Ketika hambaku berucap: "iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin",  maka Allah menimpalinya dengan mengatakan: "ini adalah antara diriku dan hambaku,  maka pintalah apapun wahai hambaku". Ketika hambaku berucap: "ihdinash-shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdlubi 'alaihim wa laa dl-dlaalliin", maka Allah menimpalinya dengan mengatakan: "ini adalah antara diriku dan hambaku, maka pintalah apapun wahai hambaku", demikian diriwayatkan oleh riwayat Syaikhani (Bukhari dan Muslim).

Namun, menurut imam Nawawi al-Bantani, jika seorang musalli (pelaksana salat) tidak mampu membaca alfatihah, maka ia diperbolehkan menggantinya dengan membaca ayat al-Quran lainnya yang jumlahnya (bobotnya) setara (tujuh ayat), kendatipun hal ini berbeda dengan pendapat umum yang mu'tamad (acuan pokok). Demikian pula, jika saja ia pun belum melakukan hal tersebut, maka ia diperbolehkan dengan membaca dzikir atau doa yang ia mampu mengucapnya, namun diwajibkan untuk mengucapkan dzikir atau doa sebanyak tujuh macam kata, misalnya dengan dzikir ini: "Subhaanallah wa alhamdulillah wa laa ilaaha illallah wa-Allahu Akbar wa laa haulaa wa laa quwwata illaa billahil 'aliyyil 'adziim wa maa syaa-a Allah".

Bacaan dzikir tersebut, masih ada enam macam kata, sehingga menurut imam al-Suaifi, maka ditambah dengan basmalah di awal, sehingga menjadi setara tujuh macam kata. Seperti dzikir, demimkian pula banyaknya kata dalam doa sebagai pengganti alfatihah, wajib mengandung tujuh kata dan dengan bahasa Arab. 

Doa yang dipanjatkan harus yang berhubungan dengan permohonan bagi kehidupan akhirat, namun jika belum tahu atau hafal doa akhirat tersebut, maka diperbolehkan dengan doa yang bersifat duniawi. Bagi yang tidak mampu dengan doa berbahasa Arab, maka diperbolehkan dengan doa yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimilikinya, dengan prioritas pada doa ukhrawi, namun jika tidak mampu, maka diperbolehkan dengan doa duniawi yang diterjemahkan. Bahkan, bagi yang belum mampu juga melakukan hal-hal tersebut, maka ia diperbolehkan menggantinya dengan sekedar berdiri saja dalam salatnya dengan durasi waktu yang sama dengan durasi bacaan alfatihah. Wallahu A'lamu bish-shawwab [Esha].

Sumber Bacaan:

Uraian dari kitab Syarh Safinathi an-Najah, karya Syekh al-Imam al-Al'alim al-Fadhil Abi Abdul Mu'thy Muhammad Nawawi al-Bantani, hlm. 52-53.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun