Suatu pagi dalam kondisi yang hiruk pikuk, terlihat seekor kucing yang santai di pojok stasiun itu. Pembawaannya santai. Cenderung cuek terhadap keramaian di situ. Bahkan, kucing itu asyik membersihkan diri dengan menjilat-jilat tubuhnya.
Saya pun membatin, alangkah beruntungnya si kucing. Hidup sederhana, gak mikir berat, apalagi jelas gak pernah ambyar ditinggal kekasih pergi.
Mencari makan ya untuk hari itu. Dan nyatanya, pagi-pagi pun sudah terlihat santai. Benar-benar kondisi yang kuirikan.
Tapi, wait. Ini kan kucing, begitu batinku. Betapapun mewahnya, tetap saja kucing. Binatang ini bisa saja berpindah-pindah tempat karena sering diusir oleh petugas dengan alasan kebersihan. Belum tentu juga kucing itu memiliki tuan yang memeliharanya. Cerita tentang perkelahian antar kucing, juga tentunya sudah terjadi melihat bekas-bekas luka di badannya. Â Â
Kucing memiliki wujud penciptaan dan kodrat yang berbeda Sehingga saya sebagai manusia merasa perlu melihat dari kucing itu untuk kembali menegaskan bahwa saya adalah manusia. Dengan sekian kemampuan yang sangat jauh melebihi kucing. Â Â
Merenungkan sekian hal yang mungkin terjadi oleh kucing itu, saya pun mengurungkan niat untuk melanjutkan iri kepadanya. Iri untuk bersantai ketika yang lain sedang sibuk-sibuknya. Iri untuk mendampakan kehidupan yang tidak saya miliki.
Saya pun melanjutkan perjalanan ketika motor ojek sudah menghampiri. Demikian kelas kuliah saya pagi itu dengan kucing sebagai sang pencerah.
==
Artikel ini telah dipublis sebelumnya di blog pribadi, 20 Februari 2020
https://syarifulakbar.wordpress.com/2020/02/10/iri-kepada-kucing/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H