Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Kegaduhan Menteri Menjadi Ancaman Kinerja Kabinet Kerja

10 Maret 2016   22:37 Diperbarui: 10 Maret 2016   22:42 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah organisasi baik ruang lingkupnya berskala kecil maupun besar sangat perlu memunculkan situasi yang kondusif diantara anggota-anggotanya. Situasi seperti ini akan mempengaruhi kinerja dari organisasi itu sendiri. Ketika adanya permasalahan sekecil apapun dalam kepengurusan berorganisasi, maka tidak bisa dipungkiri hal itupun akan sangat mengganggu kinerja pada saat kegiatan organisasi berlangsung. Begitu juga halnya kepengurusan dalam sebuah organisasi pemerintahan. Kabinet dalam roda pemerintahan yang dijalankan oleh menteri-menteri sebagai pembantu kepala pemerintahan juga perlu ada hubungan yang sinergis dalam menjalankan tugas sesuai dengan wewenang yang dimilikinya.

Ada beberapa kegaduhan yang dilakukan oleh para menteri-menteri dalam kabinet kerja. Dimulai dari silang pendapat antara Menteri Koordinator Maritim (Menko Maritim) Rizal Ramli dengan Menteri Negara (Meneg) Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno pada pertengahan bulan Agustus 2015. Ini terkait pembelian armada Airbus A350 sebanyak 30 unit untuk maskapai Garuda Indonesia. Rini Soemarno saat itu berkeras bahwa pembelian 30 unit Airbus dalam rangka peningkatan kinerja Garuda. 

Namun, upaya ini dicegah oleh Rizal Ramli yang beralasan justru langkah ini akan membuat Garuda mengalami kerugian. Perbedaan pendapat ini pun menimbulkan perang pernyataan antara keduanya, Rini Soemarno bahkan menanyakan kewenangan Rizal Ramli dalam hal ini. Setelah menjadi polemik di publik, saling silang keduanya akhirnya berhenti setelah Presiden Jokowi menegur secara langsung Rizal Ramli melalui jaringan telepon pribadinya.

Kegaduhan kembali terjadi sepekan berikutnya antara Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Maritim Rizal Ramli terkait proyek pembangkit listrik 35 ribu watt. Perbedaan pendapat keduanya mencuat di publik. Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pembangunan pembangkit 35 ribu watt ini penting dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan listrik jangka panjang. Namun, menurut Rizal Ramli, proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) tidak masuk akal. Jusuf Kalla pun meminta Rizal mempelajari terlebih dahulu persoalan sebelum berbicara di publik. Jusuf Kalla bahkan menyebut, kalau menteri kurang akal, pasti tidak paham persoalan ini. Pernyataan Jusuf Kalla ini pun semakin memperuncing perbedaan keduanya. Namun, berakhir pada tidak hadirnya Rizal Ramli dalam rapat terbatas Wakil Presiden dengan jajaran kabinet.

Menko Maritim Rizal Ramli kembali berseteru, kali ini dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said terkait perpanjangan kontrak Freeport pada bulan Oktober 2015. Kegaduhan antara Rizal dan Sudirman tidak terlepas dari kasus papa minta saham yang mencuat di publik yang berujung pada pencopotan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Rizal Ramli mempertanyakan kewenangan Sudirman Said  dan menyebut dia keblinger yang berani membuat keputusan perpanjangan kontrak Freeport tanpa persetujuan Presiden. Ia bahkan menyebut jurus "kepret rajawali" untuk membuat Freeport dan Sudirman Said tidak memperpanjang kontrak karyanya di Indonesia. Namun, Sudirman Said menyatakan tidak akan meladeni Rizal Ramli atas penyataannya tersebut.

Saling bantah juga terjadi dalam bidang pangan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menegaskan, tidak akan melakukan impor beras dan stok beras aman pada bulan Oktober dan November 2015 lalu. Namun, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menegaskan akan melakukan kembali impor beras dari Thailand dan Vietnam demi menjaga stok beras nasional. Menurut Thomas Lembong, data produksi pangan nasional tidak akurat. Bila memang benar Indonesia surplus 10 juta ton beras pada tahun 2015, lalu di mana beras tersebut. 

Dan, seharusnya harga beras juga mestinya stabil, tapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan, Thomas Lembong juga menyindir Amran Sulaiman yang berkali-kali mengatakan produksi pangan surplus, tapi barangnya tidak ada.

Memasuki tahun 2016, isu kereta api cepat menjadi awal perbedaan pendapat antara Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Kewenangan kereta cepat yang diambil oleh Rini Soemarno berujung pada adanya beberapa peraturan yang tidak sesuai dengan perizinan perhubungan. Sikap Ignasius Jonan yang tidak sependapat dengan Rini Soemarno ini terlihat ketika Ignasius Jonan tidak hadir saat grounbreaking proyek kereta cepat yang dihadiri Presiden Joko Widodo. 

Untuk menghindari polemik, Ignasius Jonan akhirnya tidak banyak berkomentar menanggapi pertanyaan wartawan. Ia pun meminta setiap pertanyaan dan permasalahan kereta api cepat tidak lagi dikaitkan dengan Menteri Perhubungan. Dia meminta rekan media menanyakan kepada Rini Soemarno.

Perdebatan antara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmayanto dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait penggunaan kawasan Halim Perdana Kusuma untuk terminal kereta api cepat. Atas usulan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, BUMN meminta kepada Menteri Pertahanan agar merestui kawasan Halim menjadi salah satu terminal kereta api cepat Cina. Namun, Panglima TNI bersama Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna menyatakan keberatan. 

Karena, kawasan Halim Perdana Kusuma seharusnya diperuntukkan sebagai basis pangkalan militer, bukan untuk sipil, termasuk untuk proyek kereta api cepat. Walaupun tidak segaduh yang lain, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna sempat melayangkan keberatannya kepada pemerintah.

Dalam beberapa kesempatan, menurut Muradi, saling sindir yang terjadi antara pembantu presiden bukan pada kebijakan, melainkan lebih pada sikap yang tidak patut ditunjukkan seorang menteri. Ini terjadi ketika Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jafar pada Rabu, 24 Februari 2015 lalu, yang mengkritik manajemen Garuda. Marwan mempermasalahkan pergantian penerbangan yang berujung delay selama satu setengah jam. Menteri Marwan mendapatkan pergantian penerbangan setelah ia terlambat menuju Bandara Soekarno-Hatta dalam jadwal penerbangan sebelumnya. Karena pergantian penerbangan yang berujung delay tersebut, melalui akun Twitter pribadinya mendadak Marwan meminta Direktur Garuda diganti. Namun, sikap Menteri Marwan itu ditanggapi Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Pramono menyindir di media sosial bahwa masih ada pejabat yang minta dilayani berlebihan.

Akhir-akhir ini mencuat kekisruhan yang dilakukan oleh Menteri koordinator Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Sudirman Said. Sudirman Said pernah menyindir Rizal Ramli karena merasa kinerjanya diperhambat oleh pria dengan jurus ngepret itu. Padahal, kata Sudirman, hal yang dikerjakannya berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai Menteri Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral. Sebagaimana diketahui, Menteri Rizal Ramli bersikukuh pembangunan Blok Masela lebih ideal di darat (onshore). Namun Menteri Sudirman Said meminta pembangunan tersebut lebih tepat dibagun di laut (offshore). Cadangan gas di blok tersebut sendiri ditaksir mencapai 10 triliun kaki kubik.

Kegaduhan-kegaduhan yang terjadi seperti yang sudah dijelaskan tersebut di atas apalagi di depan publik akan menghambat kinerja dari para menteri kabinet kerja tersebut. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu dilakukan oleh para menteri karena kapasitas mereka sebagai pejabat publik yang menjalankan tugas negara demi kepentingan masyarakat umum. Kegaduhan yang terjadi tersebut jangan sampai ada hal-hal yang merugikan kepentingan masyarakat. Jangan sampai adanya kegaduhan tersebut, ada pihak-pihak yang menguntungkan. Kalau memang ingin berdebat atau silang pendapat terkait dengan kebijakan, seharusnya dibalik layar saja tidak boleh di muka publik. Kegaduhan yang dilakukan oleh beberapa menteri tersebut, tidak memberikan contoh pendidikan politik yang baik terhadap masyarakat luas.

Solusi yang perlu dilakukan terkait dengan kegaduhan para menteri dalam kabinet kerja tersebut, menurut penulis harus segera dilakukan oleh Presiden yang kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan. Presiden harus bersikap secara tegas dengan para menteri-menterinya agar tidak lagi membuat kegaduhan dalam kabinet. Misalnya Presiden mengingatkan kepada Para menterinya untuk saling bersinergis dan melakukan musyawarah/mufakat yang baik dalam merencanakan program kerjanya serta tidak saling menyimpang dari apa yang menjadi tugas dan wewenangnya. Presiden pun harus menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan perombakan kabinet jika memang perlu untuk menyelesaikan persoalan tersebut, tergantung keputusan Presiden nantinya.

Sumber Pustaka: Republika diakses di Mataram Selasa, 08 Maret 2016 Pukul 19:10 Wita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun