Mulanya akibat perang mempertahankan kemerdekaan yang terjadi dari tahun 1945 hingga tahun 1948 maka permasalahan sosial semakin bertambah jumlahnya. Kementerian Sosial menyadari bahwa untuk menanggulangi permasalahan sosial tersebut diperlukan mitra kerja dari unsur masyarakat. Oleh sebab itu, maka pada bulan Juli 1949 di kota Yogyakarta Kementerian Sosial mengadakan Penyusuhan Sosial bagi tokoh-tokoh masyarakat dan Kursus Bimbingan Sosial bagi Calon Sosiawan atau Pekerja Sosial, dengan harapan dapat menjadi mitra bagi pemerintah dalam menanggulangi permasalahan sosial yang sedang terjadi.
Para Sosiawan atau Pekerja Sosial telah bekerja dengan baik, jiwa dan semangat kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan serta kerelaan berkorban tanpa pamrih yang telah tumbuh di dalam masyarakat dapat diperkokoh, sehingga masyarakat dapat menanggulangi dan mengatasi permasalahan sosial yang timbul saat itu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
Oleh sebab itu untuk melestarikan dan memperkokoh nilai-nilai kesetiakawanan sosial yang telah tumbuh didalam masyarakat dan untuk meningkatkan kinerja serta mempersatukan para Sosiawan atau Pekerja Sosial, maka Kementerian Sosial membuat Lambang Pekerjaan Sosial dan Kode Etik atau Sikap Sosiawan. Lambang Pekerjaan Sosial dan Kode Etik Sosiawan diciptakan pada tanggal 20 Desember 1949, tepat satu tahun dari peristiwa bersejarah bersatunya seluruh lapisan masyarakat dalam mempertahankan kedaulatan negara, yaitu pada tanggal 20 Desember 1948, sehari setelah tentara kolonial Belanda menyerbu dan menduduki ibukota negara yang pada saat itu Yogyakarta. Hari dan tanggal tersebut dinamakan sebagai Hari Sosial.
Hari Sosial
Hari Sosial atau Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) diperingati pada tanggal 20 Desember setiap tahun sebagai rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita.
Peringatan Hari Sosial atau Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tersebut merupakan upaya untuk mengenang, menghayati dan meneladani semangat persatuan, kesatuan, kegotongroyongan dan kekeluargaan rakyat Indonesia yang secara bahu membahu mempertahankan kedaulatan bangsa atas pendudukan kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia oleh tentara Belanda pada tahun 1948.
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu kemudian menyatakan dirinya menjamin Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta. Jaminan dari Sri Sultan itulah yang dijadikan momentum paling penting bagi keberadaan Republik Indonesia di tengah ancaman serbuan pasukan Belanda.
Pada tanggal 4 Januari 1946 presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta memboyong pemerintahannya ke Yogyakarta hingga menjadikan kota tersebut sebagai Ibu kota Negara karena alasan keamanan yang terancam oleh penjajah (Belanda) pada waktu itu. Ini adalah momentum yang sangat signifikansi dan tak terlupakan jasanya oleh Negara Indonesia.
Dikenal sebagai hari sosial karena tidak hanya satu manusia yang terdiri di dalamnya, dari teori mendasar sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Jelas saja jika perserikatan antara satu dengan lainnya terjalin menjadi satu kemudian berkiprah dalam satu tujuan hingga menghasilkan cita satu serta kebanggaan satu juga.
Dalam dunia sosial pasti terdiri dari manusia yang sosial pula, manusia yang tidak bisa berdikari dengan sendirinya. Rumusan teori sosial ini menyatakan bahwa manusia tidak bisa hidup secara individual dalam kehidupannya. Oleh karena itu saling bekerjasama, gotong royong, bahu membahu, dan bersatu menjadi tumpuan utama dalam keberhasilan yang dicitakan.
Kesenjangan Sosial
Dewasa ini jamak ditemukan kesenjangan atau jarak sosial masyarakat Indonesia. Kesenjangan sosial merupakan suatu keadaan tidak seimbang yang ada dalam masyarakat sehingga menjadikan perbedaan yang mencolok. Dari mulai orang yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, PNS dan orang biasa, hingga heterogen warnanya.
Jika melihat eksistensi hari sosial maka cerminan yang terjadi kala ini merupakan dosa-dosa yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Mulanya rakyat Indonesia adalah satu tujuan, cita, dan satu tanah akan tetapi seiring berjalannya waktu hari sosial hanya dikenang dan diselebrasikan oleh orang-orang yang mengerti betapa pentingnya bersosial.
Stratifikasi yang dilakukan membuat kesenjangan sosial semakin mencuat, pasalnya manusia yang berdamai dan tenteram hidup bersama kini seolah-olah terdapat kelas masing-masing. Dari kelas atas, menengah ke atas, standar, menengah ke bawah, dan kelas bawah. Stratifikasi inilah yang menjadikan jiwa-jiwa pecah dan menodai refleksi hari kesetiakawanan sosial nasional.
Jika ditelaah lahirnya hari kesetiakawanan sosial nasional maka yang dijumpai adalah kebersamaan, kedamaian, gotong royong, serta kebaikan bukan perceraiberaian. Lahirnya hari tersebut untuk membuat rakyat Indonesia menjadi satu, kuat, dan kooperatif. Manakala ada stratifikasi yang berdampak pada kesenjangan dan perceraiberaian berarti telah menodai orang-orang yang telah bersatu dan fundamental adanya hari kesetiakawanan sosial nasional.
Akhirnya, dari sebuah kesenjangan yang telah terjadi jamak dari rakyat Indonesia yang merindukan kesatuan dan kedamaian yang utuh. Semoga dengan hari kesetiakawanan sosial nasional yang datang dapat merelefksikan tindakan yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H