Mohon tunggu...
Syarif Syam
Syarif Syam Mohon Tunggu... Melakoni kegiatan sebagai WTS (Writer, Teacher and Speaker) -

Hanya mencoba mengaktualisasikan diri lewat serpihan-serpihan kata yang disusun menjadi rentetan kalimat, entah berarti ataupun tidak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tambang Ilegal, Perenggut Kebersamaan Lokal

29 Januari 2016   10:22 Diperbarui: 29 Januari 2016   18:17 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sungai yang menjadi lokasi penambangan"][Sungai yang menjadi lokasi penambangan pasir]

Siapa yang tak kenal Kabupaten Bone. Salah satu kabupaten terluas di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini sangat kaya dengan sumber daya alam. Keadaan alamnya merupakan salah satu anugerah tersendiri untuk kabupaten ini. Wilayah yang luas, meliputi daerah pegunungan yang masih satu rangkaian dengan pegunungan Verbeek, serta memiliki jazirah yang terletak di sepanjang Teluk Bone.

Sebut saja salah satunya dari sekian banyak wilayahnya itu adalah Desa Lea, yang berada dalam lingkup Kabupaten Bone dan dinaungi secara administratif oleh Kecamatan Tellu Siattinge. Desa ini sangat kaya, dengan hasil alam yang melimpah. Posisi desa pun unik. Diapit oleh dua kecamatan tetangga, berbatasan langsung dengan Kecamatan Cenrana juga Kecamatan Dua Boccoe. Tepat batas disebelah utara desa ini dibatasi oleh sungai yang luas. Sungai tersebut merupakan penghubung antara Danau Tempe yang ada di Sengkang, Kabupaten Wajo dan Teluk Bone. Dimana kabupaten Bone kecamatan Cenrana inilah yang merupakan muara Danau Tempe.

Sungai pembatas desa ini sangat kaya dengan potensi alamnya. Warga banyak memanfaatkan sebagai lahan mencari ikan, baik sebagai pelengkap lauk maupun sebagai penghasilan tambahan. Selain itu, juga dimanfaatkan oleh warga masyarakat sebagai sarana transportasi. Sehingga wajar, jika kemudian sepanjang bantaran sungai ini didirikan pemukiman warga. Kehidupan mereka sangat rukun dan damai. Sepanjang sepuluh tahun terakhir tidak ada ketegangan-ketegangan melanda. Ibarat kehidupan warga desa lainnya yang dalam bahasa Bugis sebagai bahasa lokal disana disebut “tuo sipammase-mase” atau hidup rukun dan damai. Namun karakter hidup orang bugis tersebut pelan meredup. Meredup hingga ketitik yang hampir padam. Suasana desa yang tenang dulu berubah. Setiap saat ada gejolak dan luapan yang siap meledak di desa tersebut. Kebersamaan warga mulai terenggut, kebersamaan lokal sudah nyaris hilang dikarenakan tambang.

Ihwal semuanya bermula dari penambangan pasir di sungai. Awalnya hanya buat keperluan warga untuk memenuhi kebutuhan pribadi rumah tangga. Lambat laun pemilik modal yang memiliki ketajaman penciuman ekploitasi pelan menjamah. Dibukalah tambang-tambang pasir. Sungai-sungai dikeruk dengan bantuan mesin pompa. Pasir besi atau pasir hitam yang menjadi bahan utama bangunan memiliki nilai jual tinggi, dijual ke publik. Orang-orang lokal dipekerjakan. Alasannya gampang, mereka butuh kerja. Padahal hanya sedikit terserap. Jadilah sebuah dilema. Warga yang bekerja adalah yang posisi rumahnya tidak berbatasan langsung dengan pinggiran sungai yang dikeruk. Sederhana, sebagian selentingan terdengar jika bantaran atau sungai rusak, katanya “Bukan jih rumah saya, yang jelas saya hidup dan dapat kerja di sini (kerja sebagai buruh pasir tambang)”. Demikian kutipan warga yang selalu diulang warga lainnya setiap diskusikan tambang tersebut.

Pelan namun pasti, sering muncul ketegangan. Tidak ada yang mampu meredakan. Pun kepala Desa Lea seperti angkat tangan. Segala usaha atas inisiasi sendiri dari warga masyarakat untuk menstop tambang pasir itu nyaris tak berguna sama sekali. Para pemilik tambang yang jumlahnya kisaran enam lokasi titik tidak tinggal diam. Mereka menghembuskan isu untuk meredam gejolak masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan merasa dirugikan. Mereka klaim bahwa tambangnya legal serta mendapat surat izin dari Dinas Pertambangan dan Energi  Sumber Mineral Kabupaten Bone. Warga kemudian ramai-ramai mengkroscek di Kantor Dinas Pertambangan dan ESDM di Jalan Wahidin Sudirohusodo, Watampone, pada hari Senin, 23 November 2015 lalu. Hasilnya, kata Andi Chandar Batara, Sekertaris Dinas Pertambangan dan ESDM, tambang itu adalah illegal. Lebih jauh dijelaskannya pada warga masyarakat yang hampir putus asa bahwa di Bone bagian utara sana hanya Kecamatan Ajangale yang punya izin tambang. Warga pun memutuskan melaporkan hal ini ke Kantor Polres Bone dan menyerahkan sepenuhnya untuk diproses lebih jauh.

Namun apa daya, polisi pun sepertinya tidak bernyali. Anggota kepolisian yang diterjunkan kesana tidak mempan. Mesin pompa tetap beraktifitas. Tak kenal siang dan malam, memompa tanpa henti. Ketegangan sering terjadi. Selain ketegangan antara pemilik usaha mesin pompa pasir dan warga, seringkali perkelahian juga terjadi diantara para  pemilik usaha tambang sendiri. Masyarakat tetap resah, tidak ada kejelasan. Sementara pengerukan dasar sungai tetap berjalan bahkan lancar dan bebas. Masyarakat semakin merasa kehidupannya suram. Tidak ada yang bisa menghentikan. Pengerukan sungai semakin lancar, truk-truk meraung lalu lalang, menghembuskan debu ke pemukiman, mengangkut pasir-pasir kedaerah luar Cenrana dan Tellu Siattinge.

Tidak lama lagi musim penghujan akan mencapai puncaknya, kekhawatiran warga pun semakin memuncak. Mereka khawatir dengan malapetaka berupa longsor yang akan menerjang rumah mereka. Longsor sebagai efek pengerukan Sungai Cenrana, yang sekian banyak digunakan untuk mensuplai pembangunan yang semakin pesat. Korban akibat tambang tersebut diprediksikan oleh warga akan bertambah. Penulis sendiri saat menyambangi lokasi tersebut sempat mengorek informasi dari warga. Mereka putus asa. Uttang salah seorang warga yang merasa dirugikan oleh adanya tambang tersebut kepada penulis mengatakan bahwa rumahnya yang baru saja dia selesaikan pondasinya sudah rusak. Lantai rumahnya sudah pecah. Tanah dibelakang rumahnya semakin longsor. Usaha untuk menghalangi longsor tersebut pun tidak berarti sama sekali alias gagal.

Begitulah sekelumit gambaran tambang illegal di Desa Lea dan Kelurahan Cenrana sana. Uluran bantuan dari pihak berwajib untuk menghentikan tambang sangat dinantikan oleh warga. Mereka ingin kembali hidup merajut mimpi-mimpi tanpa dihantui oleh bencana yang sewaktu-waktu bisa datang. Mereka ingin kebersamaan lokal didesanya tetap bisa dijalin dengan baik tanpa ada sekat-sekat lagi. Mereka berharap tidak ada oknum yang turut bermain dalam kasus penambangan  ini. Warga rindu dengan kehidupan yang tenang.  Tanpa ada perselisihan sebagaimana yang pernah terjadi di Lumajang, Jawa Timur sana. Jangan lagi ada Salim Kancil yang lainnya jadi korban. Cukuplah derita di Lumajang sana akibat tambang pasir. Jangan lagi terulang kembali di Bumi Arung Palakka ini. 

Sudah saatnya pemerintah kita lebih teliti dalam memperhatikan aktifitas penambangan. Karena penambangan ini melibatkan banyak hal. Tak hanya berkaitan dengan faktor keuntungan ekonomi semata, namun lebih-lebih kepada faktor keselamatan lingkungan. Sejatinya usaha penambangan terutama penambangan pasir tidak dilakukan di area pemukiman warga. Sebab hal demikian bisa menimbulkan dampak kerusakan yang lebih besar. Entah siapa lagi yang akan bertanggung jawab jika kerusakan menimpa pada warga masyarakat. Tentunya tidak ada kan, selain warga sendiri yang harus menanggungnya?

 

Dimuat di Tribun Bone, Edisi Kamis-Jum’at, 21-22 Januari 2016 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun