Mohon tunggu...
Syarif Syam
Syarif Syam Mohon Tunggu... Melakoni kegiatan sebagai WTS (Writer, Teacher and Speaker) -

Hanya mencoba mengaktualisasikan diri lewat serpihan-serpihan kata yang disusun menjadi rentetan kalimat, entah berarti ataupun tidak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membudayakan Membaca Butuh Keteladanan

19 Januari 2016   17:58 Diperbarui: 25 Januari 2016   17:11 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah tercatat dalam sejarah, ketika pertama kali Nabi yang Mulia, Muhammad Saw, diberitakan mengenai pengangkatannya sebagai rasul, datanglah Malaikat Jibril membawa sebuah bacaan. Jibril meminta Rasulullah untuk membaca apa yang dia bawa. Namun karena beliau tidak tahu membaca maka Rasulullah pun beberapa kali mengelak. Setiap kali itu pula malaikat pembawa wahyu tersebut memaksa. Kejadian memaksa membaca ini berlangsung hingga berkali-kali. Sehingga pada akhirnya barulah Jibril menuntun Rasulullah Saw untuk membaca surah yang pertama kali turun, yaitu surah Al-Alaq ayat 1-5 yang juga bertema seputar perintah membaca.

Guru adalah penuntun untuk membaca

Peristiwa diatas hampir seluruh umat Islam mengetahuinya. Perintah membaca yang menjadi wahyu pertama sekaligus menjadi momentum pendeklarasian diri Rasulullah saw, dimana beliau didikte langsung oleh Jibril untuk membaca. Dari peristiwa tersebut ada hal yang menarik untuk dijadikan hikmah. Nabi yang mulia saat pertama kali diberikan wahyu, diminta untuk membaca. Dimana Malaikat jibril-lah sebagai guru pertamanya untuk membaca atas perintah Tuhan. Dialah sebagai perantara untuk mengajari Rasulullah untuk membaca, terlepas dari kapasitas Jibril sebagai malaikat.

Dari sini bisa kita tarik benang merahnya bahwa mengajarkan membaca itu memang butuh seorang penuntun. Butuh seorang figur untuk diteladani yang akan mengantar kita untuk memahami bacaan.  Dalam hal ini seorang guru, baik itu guru mengaji di tempat belajar al-Qur’an maupun guru-guru disekolah. Gurulah yang bisa diharapkan untuk menjadi penuntun agar bisa mencintai bacaan. Serta juga menjadi teladan dalam memasyarakatkan cinta membaca.

Barangkali saudara pembaca bertanya, mestikah figur keteladanan membaca itu adalah dari guru? maka jawabnya adalah tidak. Sebab ketika keteladanan ini hanya dibebankan kepada guru, maka sudah pasti program untuk membudayakan membaca itu tidak akan berjalan dan berhasil dengan baik. Akan tetapi, sebagai orang yang berada dalam tataran lingkungan pendidikan formal, maka gurulah yang menjadi “main model“ untuk itu. Sebagai orang yang paling banyak bersentuhan dengan nilai-nilai akademis, serta sebagai peletak dasar dari membaca itu, maka tentu gurulah yang banyak paling berperan. Terutama dalam hal untuk menanamkan mindset cinta membaca dikalangan pelajar.

Jadilah teladan yang baik

Inilah sebuah tantangan yang sekarang menggerogoti kalangan pelajar. Terutama para guru pun turut diseret kedalam problematika ini. Sebab, dunia yang serba canggih sekarang ini, dihadapkan pada rendahnya minat membaca siswa. Lihatlah perpustakaan-perpustakaan yang ada disekolah. Perpustakaan tak ubahnya bagai kuburan yang angker, sepi dan jarang dikunjungi. Padahal sejatinya, perpustakaan itulah yang menjadi jantung pemompa kehidupan pergulatan pengetahuan. Jika ingin mengukur seberapa besar minat membaca siswa suatu sekolah maka lihatlah kepada perpustakaannya. Besarnya minat untuk berkunjungan dan membaca di perpustakaan itulah sebagai indikator. Tak hanya disekolah pun juga bisa dijadikan untuk tingkatan universitas/sekolah tinggi.

Nah, dari sinilah pelajar kita butuh keteladanan. Butuh orang yang mampu mengantar mereka untuk mencintai dunia bacaan. Dalam hal ini tentulah gurunya yang harus banyak berperan aktif untuk menanamkan kecintaan tersebut. Sebab jika gurunya sendiri tidak cinta membaca, maka adalah hal yang impossible (mustahil) para siswa akan cinta membaca juga. Sebuah pepatah melayu yang sering kita dengar “Jika guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari”. Pepatah tersebut secara maknawi mengandung arti bahwa segala tindak tanduk guru itu akan dicontohi oleh siswa. Betapa kelakuan guru itu akan sangat membekas dan turut mewarnai para siswanya.

Sudah saatnya kita sebagai figur teladan, untuk memberikan teladan yang baik kepada calon generasi penerus bangsa ini. Saatnya kita berefleksi. Memikirkan bahwa apakah sudah sejalan antara kata dan perbuatan kita. Sebab jangan sampai kita sendiri sebagai guru selalu menasehati siswa untuk rajin membaca sementara siswa sendiri tidak pernah menyaksikan kita membaca. Jadilah teladan yang baik dan patut untuk dicontoh.  Jadilah pembaca yang baik agar menghasilkan teladan pembaca yang baik pula. Jangan menjadi guru yang sudah disibukkan dengan aktifitas lantas menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan kegiatan membaca. Sebab guru yang sudah penuh dengan dunia bacaan pun bakal ketinggalan bacaan jika tidak pernah mengupdate bacaannya.

Perlu bagi kita sejenak untuk merenungi kehidupan para founding father bangsa ini. Simaklah para kisah pejuang tersebut, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir serta beberapa pejuang lainnya yang kehidupannya disibukkan dengan aktifitas membaca. Mereka tidak lepas dari buku. Sebab mereka pahami dengan baik bahwa pembaca yang baik akan menjadikan diri kita lebih baik. Bacaan adalah dunia yang sangat indah bagi mereka. Sebut saja, Hatta yang merupakan penggila dunia bacaan. Dikisahkan bahwa kala dikirim kedalam tahanan, beliau dengan serta merta ngotot mengikutkan beberapa peti yang berisi buku untuk menemaninya selama masa tahanan oleh kolonial Belanda. Tentunya ini bisa menjadi pelecut bagi kita untuk bisa meneladani sifat pejuang kita tersebut.

Jadi mari, kita berikan keteladanan kepada para generasi penerus bangsa dalam hal ini para pelajar, agar mereka mencintai membaca. Mereka bisa jadi generasi yang dibanggakan untuk melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa. Negara yang berdaulat, dan benar-benar disegani oleh negara lain, lewat semangat dan gerakan membudayakan membaca. Mariki!

 

(Penulis Bergiat di Komunitas Pencinta Budaya dan Sastra “Lontara”)

Tribun Bone, Senin 18 Januari 2016, Page 9-Opini.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun