Al-Ghazali seorang filsuf dan teolog Persia, yang dikenal sebagai Algazel di Dunia Barat pada abad pertangahan. Al-Ghazali, lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali bergelar "Hujjatul Islam" Â lahir di Ghazelah, sebuah kota kecil di Thus, Wilayah Khurasan (Iran), pada 450 H (1059 M)), dan wafat di Tabristan, sebuah wilayah di Provinsi Tus, pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H/1 Desember 1111 M.Â
Pendidikan imam al-Ghazali di mulai di Thus. Di madrasah ini beliau mulai belajar fiqh Syafi'i dan teologi (tauhid) Asy'ari dari seorang guru yang bernama Ahmad ibn Muhmmad az-Zarqani at-Thusi salah seorang ulama besar di Thus pada waktu itu. Kemudian al-Ghazali meneruskan belajarnya ke Jurjan. Di sini beliau belajar kepada Imam Abu Nasr al-Isma'ili. Kala itu usianya belum mencapai 20 tahun. Di madrasah ini, selain beliau belajar ilmu agama, juga giat mempelajari bahasa Arab dan bahasa Persia. Di Jurjan juga beliau belajar dasar-dasar Usul Fiqih.Â
Pada tahun 470 H/1078 M ia pergi ke kota Nisyapur, salah satu kota pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam pada masa itu. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Juwaini, seorang guru besar di Universitas Nizamiah Nisyapur. Di universitas ini al-Ghazali belajar fikih, ilmu kalam, retorika, logika, filsafat, tasawuf, dan ilmu-ilmu alam. Di sekolah ini pula al-Ghazali pernah belajar teori dan praktik tasawwuf kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Al-Farmadhi (w. 477 H).Â
Setelah Imam al-Juwaini meninggal duinia, al-Ghazali pindah ke Mu'askar, di mana ia berkenalan dengan Nizam al-Mulk, pendiri Universitas Nizamiyah. Kemudian al-Mulk memberikan suatu ke- hormatan kepada al-Ghazali untuk mengadakan beberapa kali per- temuan berdiskusi dengan orang orang terkemuka beliau. Akhirnya al-Mulk amat tertarik dengan pemikiran-pemikiran al-Ghazali, dan kemudian memintanya untuk dapat mempertahankan dan mem- perkokoh akidah Ahl al-Sunnah dan memberikan bantahan-ban- tahan terhadap ajaran-ajaran Batiniyah. Pada tahun 484 H/1091 M. al-Ghazali diangkat menjadi guru di Universitas Nizamiyah Bagdad.Â
Imam al-Ghazali hidup pada masa atau periode keempat (masa disintegrasi) dari periode pemerintahan Abbasiyah yaitu pada masa dinasti Bani Saljuk memegang kekuasaan. Yang dimana pada masa ini merupakan akhir dari pada Golden Age, Islam mengalami kemunduran dari segi pengetahuan dan juga dalam lingkup pemikiran keagamaan. Terjadi kegundahan ditengah umat islam, Al-Ghazali muncul sebagai salah satu tokoh pebaharuan dan intelek pada masa itu, Al Ghazali sangat mengkritisi berbagai hal yang terjadi salah satunya pemikiran filsafat atas keresahan tersebut al-Ghazali kemudian mencoba untuk mulai mencari kebenaran dari ilmu kalam, kemudian filsafat, batiniyah, dan tasawuf.Â
Al-Ghazali mengatakan bahwa ia telah memahami ilmu filsafat seluruhnya dalam tempo kurang dari dua tahun. Kemudian secara berkelanjutan ia mendalami penyelidikan terhadap ilmu itu selama hampir satu tahun. Setelah itu diulangi dan diselami. Akhirnya ia dapat menghasilkan dua buah karya tentang filsafat yaitu: Maqashid al-Falasifah (Pemikiran Para Filosof) dan Tahafut al-Falasifah (Kehancuran Para Filosof)Â
Buku Maqashid al-Falasifah ditulis dimaksudkan sebagai pendahu- luan dari bukunya Tahafut al-Falasifah. Isinya mencakup penjelasan yang lengkap tentang pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina mengenai logika, ketuhanan, dan fisika tanpa memberikan komentar dan sanggahan sama sekali terhadap pemikiran mereka. Buku Maqashid al-Falasifah memiliki suatu nilai keistimewaan, yaitu penulisannya bersifat obyektif dan netral tanpa dimasuki oleh pandangan yang subyektif. Dan buku ini merupakan bukti nyata bahwa al-Ghazali memahami ilmu filsafat secara mendalam.
Kemudian buku keduanya yaitu Tahafut al-Falasifah dalam buku ini, Al-Ghazali menulis 20 daftar kerancuan logika para filsuf terkait teologi Islam. Dari daftarnya itu, 17 diantaranya dinyatakan sebagai sesat atau bid'ah, dan 3 lainnya dianggap sebagai tanda kekafiran. Tiga butir kerancuan yang Al-Ghazali anggap sebagai tanda kekafiran adalah:Â
- Para filsuf mengatakan bahwa alam adalah qadim, tidak ber- Â permulaan atau alam adalah abadi, dan akan ada untuk selama- lamanya.Â
- Mereka berpendapat bahwa  bahwa Tuhan hanya mengetahui perkara-perkara mujmal (umum) dan bukan hal-hal parsial atau khusus.Â
- Mereka berpendapat, bahwa hanya ruh (dan bukan jasad) yang akan dibangkitkan di hari akhir.Â
Buku Tahafut al-Falasifah ditulis langsung sebagai kelanjutan dari buku Maqashid al-Falasifah. Buku Tahafut mengilustrasikan bagaimana skeptisisme al-Ghazali terhadap kebenaran yang telah dicapai oleh para filsuf. Karya ini merupakan kritik dan sanggahan terhadap pemikiran mereka dengan suatu analisa yang teliti dan nalar yang luas dan dalam. Buku ini merupakan dalil lain yang menunjukkan kemampuan al-Ghazali yang luar biasa dalam mengkritik teori dan pemikiran para filsuf. Tahafut al-Falasifah merupakan satu dari empat seri teologis yang Al-Ghazali hasilkan selama masa jabatannya sebagai Guru Besar Hukum di Nizamiyah.Â
Al-Ghazali telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam sejarah pemikiran Islam, dan jarang ada tandingannya. Di antara pengaruhnya itu ia telah mengalihkan pandangan umat Islam, ter- utama dunia Sunni, kepada pentingnya logika, bahkan mewajibkan mempelajarinya. Usaha al-Ghazali merupakan titik balik sikap umat Islam kepada logika Aristoteles yang sebelumnya oleh para ahli fiqih logika dianggap sebagai barang haram dan hina. Dengan pengaruh al-Ghazali, logika Aristoteles menjadi amat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu.Â
Al-Ghazali berpendapat, memang logika merupakan alat, tetapi ia mempunyai kapasitas yang terbatas. Logika adalah alat penimbang atau neraca bagi sesuatu yang tertentu, tetapi ia tidak dapat dipergunakan untuk menimbang segala sesuatu, terutama persoalan dalam metafisika. Bagi al-Ghazali, logika merupakan prasyarat yang harus dimiliki setiap ilmuwan, dalam bidang apa saja, selain metafisika. Ungkapan yang masyhur dari al-Ghazali tentang pentingnya logika ialah: "Logika adalah pendahuluan bagi semua ilmu pengetahuan, siapa yang tidak menguasainya, ilmunya tidak dapat dipercayai". Â