Mohon tunggu...
Syarif maulanakafabillah
Syarif maulanakafabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hamba

Dengan nama penciptaku yang maha besar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menggali Filsafat "Ketiadaan" sebagai Sumber Makna

31 Oktober 2024   23:39 Diperbarui: 31 Oktober 2024   23:50 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam filsafat, banyak pemikiran telah ditelusuri terkait "keberadaan" atau "ada" sebagai sumber makna hidup, tetapi sedikit yang mengupas konsep "ketiadaan" secara mendalam. Ketiadaan biasanya dianggap sebagai ketiadaan makna atau kekosongan yang menakutkan. Namun, bagaimana jika ketiadaan ini justru merupakan kunci dalam memahami makna terdalam dari keberadaan?

Ketiadaan bukan sekadar nihilisme atau ketiadaan makna, melainkan suatu ruang potensial yang mendasari setiap pengalaman kita. Ketiadaan ini, dalam pandangan tertentu, mungkin adalah kondisi mendasar di mana segala sesuatu berpotensi untuk ada, seperti selembar kanvas kosong yang menanti untuk dilukis. Dalam keheningan dan kehampaan, kita memiliki ruang untuk menyadari dan menciptakan makna.

Sebuah pertanyaan mendasar muncul: jika makna hanya dapat muncul dari ada, mungkinkah makna juga muncul dari ketiadaan? Dengan memikirkan ketiadaan, kita ditarik untuk mempertanyakan aspek-aspek eksistensi yang sering dianggap remeh. Misalnya, bagaimana keheningan, atau kekosongan, bisa memberi kedamaian batin lebih mendalam daripada sekadar pencapaian materi atau pengalaman sensori?

Di sisi lain, ketiadaan juga mengandung ketegangan---ia menjadi batas antara "ada" dan "tidak ada," memberi kita kesadaran tentang kefanaan. Sebagaimana Heidegger menyinggung konsep "menjadi," setiap manusia sadar akan akhirnya, sadar bahwa suatu hari akan kembali ke "ketiadaan". Inilah yang membuat pengalaman hidup kita lebih intens dan bermakna.

Dalam cara yang paradoksal, ketiadaan dapat menciptakan rasa syukur yang dalam. Ketika kita menyadari bahwa semua yang kita miliki mungkin tidak akan selalu ada, maka kita lebih menghargai momen dan hal-hal kecil dalam hidup kita.

Dengan demikian, filsafat ketiadaan bukanlah sebuah penyangkalan, melainkan jalan baru dalam memahami eksistensi. Melalui perenungan ini, kita mungkin dapat menemukan bahwa kekosongan bukanlah lawan dari makna, tetapi justru ruang di mana makna itu sendiri muncul dan berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun