Selain sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatra Selatan, Palembang juga merupakan kota tertua di Indonesia. Dengan ciri khasnya yaitu Sungai Musi, hal ini menjadikan Palembang sebagai pusat perdagangan  Internasional  sejak zaman kerajaan Sriwijaya sampai dengan Kesultanan Palembang Darusalam. Diantara beberapa pedagang yang singgah dan menetap yaitu pedagang dari Cina, Arab, hingga India. Hal ini dibuktikan dengan adanya kampung Kapitan dan Kampung Arab di Palembang.
Namun, kali ini penulis ingin membahas mengenai kampung kapitan. Kampung kapitan merupakan salah satu bukti bahwa dahulu telah ada pedagang dari luar Palembang yaitu orang Tionghoa atau Cina, yang singgah hingga menetap di Palembang, bahkan sampai menikah dengan uwong Palembang asli. Kampung Kapitan terletak di tepi sungai Musi, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Sebrang Ulu, Palembang. Kapung Kapitan ini merupakan bukti awal orang cina masuk ke Palembang.
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yaitu tahun 1823, Sultan Palembang Ahmad Najamudin Prabu Anom menyerahkannya kekuasaannya ke Belanda, dan pada tahun itu pula kesultanan Palembang sudah dihapus kerena sudah diserahkan ke Belanda. Walaupun Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom  masih menjadi sultan Palembang, akan tetapi kekuasaanya dibatasi oleh Belanda hingga pada akhirnya Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom  ditangkap oleh Belanda karena melakukan perlawanan kepada Belanda. Pada tahun 1825 kesultanan Palembang Darusalam dihapuskan, dan Palembang dikuasai oleh Belanda. Dan pada masa pemerintahan Belanda ini, untuk mempermudah Belanda dalam menandai wilayah maka dibentuklah perkampungan-perkampungan, salah satunya kampung golongan masyarakat cina dengan pemimpin pertamanya yaitu Tjoa Kie Tjuan dengan gelar pangkat Mayor, kemudian dilanjutkan turun temurun oleh Tjoa Han Him yang bertitel kapiten atau kapitan. Nahhh, nama Kampung Kapitan ini diambil dari gelar kapitan Tjoa Han Him.
Kampung kapitan berdiri sejak 1644 atau pada abad ke-XIV, pada mulanya kampung kapitan ini memiiki 15 bangunan rumah panggung, namun sekarang hanya tersisa dua rumah panggung dengan luas 165,9 x 85,6 meter persegi dan berusia lebih dari 400 tahun. Tiap bangunan rumah kapitan dihubungkan dengan selasar di bagian tengah, dimana selasar ini dibuka ketika terdapat acara atau menjamu pertamuan. Dua bangunan ini dikenal dengan rumah kayu dan rumah batu, dimana rumah kayu ini digunakan sebagai tempat ibadah sedangkan rumah batu digunakan untuk mengadakan pesta atau pertemuan. Jadi pada intinya kampung kapitan ini merupakan wujud akulturasi anatara kebudayaan Palembang dengan kebudayaan Cina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H