Ada apa, kok deg deg an?
Menjadi penulis di mass media menyenangkan. Kesenangan atau kebahagiaaan karena artikel kita ditayangkan oleh tim redaksi akan memancing gairah untuk menulis kembali. Bagi penulis yang tergabung dalam WA group, kebahagiaan itu akan dibagikan melalui we a grup. Dibaca atau tidak dibaca, pokoknya dikirimkan ke wa grup. Kalau ada pujian dari teman se we a? Tentu saja tambah senanglah.
Namun apakah selalu senang?
Tidak juga deh. Kalau lagi gabut dan pingin menulis malah sutris karena ide tidak nempel. Bahkan kerangka tulisan yang sudah di buat ditinggal berhari-hari. Lagian, ternyata ada juga rasa bersalah, kok bisa? Ya, karena kadang ada perasaan congkak ketika melambungkan artikel yang ditayangkan ke we a grup. Paling tidak untuk saya, he he he. Karena cuma itu sich kebanggaan saya, teman-teman saya banyak yang necis, wangi, selera bintang lima, dan kurang senang tulis menulis. Tapi anehnya, mereka banyak memproduksi artikel riset di jurnal yang hebat, ada buku yang tertera nama mereka sebagai penulis.
Agak aneh juga ya, karena sangat jarang dan hampir tidak pernah saya melihat mereka seperti dukun, duduk tekun....menulis. Okelah lupakan saja lah. Yang perlu saya tuliskan di sini, mereka juga bangga lho menceritakan bahwa artikel mereka terbit di sana-sini. Dan yang penting juga saya katakan, mereka juga mempunyai kebanggaan dan kebahagiaan ketika menceritakan itu.Â
Kembali ke deg deg an ya.
Saya pernah membaca tulisan (sebelum zaman digital) bahwa seseorang belum dapat dikatakan penulis kalau tulisannya belum dimuat di Kompas. Karena itu, selepas dari jabatan struktural di jawatan pemerintah dan kampus, saya yang dulunya hanya mampu menulis di buletin (tapi ngaku-ngaku pernah menulis di koran yang dulu banyak berkeliaran pada zaman Orde Baru, padahal tidak pernah....) mencobalah menulis untuk Kompas. Walaupun banyak gagalnya, tapi saya pelajari kemana arah yang diinginkan oleh redaksi Kompas.
Dan Alhamdulillah, tayang beberapa kali. Senang? ya senang deh. Kemudian mengrimkan kembali...nah ketika menunggu ini ada deg-degan tapi menggairahkan. Hampir tiap hari melihat hasil keputusan tim redaksi...nongol lah: Ditayangkan....ditolak. Untunglah redaksi Kompas cukup gercep ketika membuat keputusan, tayang atau tidak.
Namun ketika ada kalimat menunggu persetujuan...nah ini yang kadang membuat gabut he he he. Sampai detik ini, masih gabut tapi ada secercah harapan untuk melihat artikel tersebut tayang.Â
Jadi deg-deg an itu, muncul dari dua benua. Benua gabut dan benua harapan.Â
Sampai akhirnya saya menemukan untuk tidak deg deg an. Menulis sajalah terus dengan memperhatikan rambu-rambu yang dipasang oleh media lain agar bisa menembus media tersebut. Jadi selain ke Kompas, kita juga bisa berbagi pengetahuan ke media lain.Â