Mohon tunggu...
Syarifah NurAzizah
Syarifah NurAzizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hukum Keluarga 2022 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MAHASISWI HUKUM KELUARGA TAHUN 2022 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kedudukan Saksi Perempuan dalam Akad Nikah

30 April 2024   20:30 Diperbarui: 30 April 2024   20:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saksi merupakan orang yang mempunyai sebuah informasi yang dengan sukarela atau terpaksa memberikan alat bukti berupa kesaksiannya dalam kasus tindak pidana. Sedangkan saksi nikah ialah orang yang dapat melihat dan mendengar atau mengetahui lafadz akad nikah. Hal ini menegaskan bahwa seorang saksi nikah haruslah sehat secara akal dan jasmani.

Masyarakat islam terbagi dua tentang harus ada atau tidak adanya keberadaan saksi dalam akad nikah. Perbedaan ini timbul sebab adanya perbedaan pemahaman ulama. Menurut jumhur ulama, saksi nikah harus hadir serta memahami bahasa akad, sebab saksi menjadi syarat sah akad. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, saksi tidak harus ada (sunnah) dan pernikahan hanya cukup di I'lankan (beritakan) sebelum terjadinya jima'.

Saksi nikah menjadi hal penting sebab sebagai bukti untuk menghindari adanya tuduhan berzina dan terfitnah serta sebagai alat bukti bahwa seseorang telah melakukan pernikahan. Dalam syariat mengatakan bahwa saksi dapat berupa dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dengan dua orang perempuan. Namun dalam kesaksian perempuan para ulama berbeda pendapat.

Mayoritas ulama seperti Syafi'iyah dan Hanabilah yang mewajibkan seorang saksi harus laki-laki, sebab itulah mereka menentang keberadaan adanya saksi perempuan. Namun berbeda pendapat dengan itu, ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah membolehkan adanya saksi perempuan dengan beberapa syarat tertentu.

Ulama hanafiyah membolehkan saksi perempuan dengan syarat, saksi perempuan berjumlah 2 orang dan harus bersama dengan saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah tidak mengharuskan saksi perempuan bersama dengan saksi laki-laki.

Pendapat ulama Hanafiyah terkait saksi perempuan berdasarkan pada QS. Al-Baqarah : 282 yang dalam ayat tersebut jelas membolehkannya saksi perempuan apabila tidak ditemukan cukupnya saksi laki-laki. Kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian satu orang laki-laki hal ini sebab perempuan dianggap memiliki ingatan yang lemah. Hal ini dapat terjadi di kalangan muslim pengikut mazhab Hanafiyah.

Di Indonesia yang mayoritas umat muslimnya bermazhab Syafi'iyah, maka saksi perempuan dalam pernikahan tidaklah dapat diterima. Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh Sumari, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam (Kasi Bimas Islam), melalui whatsapp group, Senin (16/1/2023). Mengatakan bahwa akad nikah yang sah adalah dengan menghadirkan 2 orang saksi. Beliau juga menyebutkan tentang syarat saksi dalam PMA Nomor 20/2019 tentang Pencacatan Nikah. Selanjutnya beliau menjelaskan alasan mengapa dalam islam, saksi nikah harus laki-laki, mengatakan bahwa hal ini sejalan dengan dengan pendapat jumhur ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.

Selain sebab di Indonesia banyak menganut mazhab Syafi'i, namun menurut peraturan yang berlaku Indonesia tidak membolehkannya saksi dalam akad nikah. Pasal 25 KHI menegaskan "yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuna rungu atau tuli". Maka pernikahan di Indonesia dengan saksi perempuan tidaklah sah sebab tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebab dalam mazhab Syafi'iyah kesaksian perempuan tidak dapat diterima karena perempuan merasa belas kasihan, ingatan tidak utuh (sering lupa) dan keterbatasan wewenang dalam beberapa hal. Argumen yang dikatakan berdasarkan Riwayat hadist dari ibn 'Abda. "Dari Zuhri, telah berlaku ketentuan dari Rasulullah Saw, bahwa tidak boleh menjadi saksi seorang perempuan dalam dalam masalah hudud, dan tidak boleh dalam masalah pernikah dan juga masalah thalak". (HR.Abu 'Ubaid).

Namun para ulama seperti ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah sepakat bahwa kesaksian perempuan lebih kuat dari pada kesaksian laki-laki dalam masalah-masalah seperti keperawanan, melahirkan, haid dan masalah-masalah lainnya yang hanya dirasakan oleh perempuan. Pada setiap permasalahan yang tidak diketahui laki-laki.

Referensi

oleh adminweb, Januari 16, 2023. Dalam Kategori Berita, Bimbingan Masyarakat Islam. https://kotasemarang.kemenag.go.id/berita/kasi-bimas-islam-infokan-syarat-saksi-nikah/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun