Pemandangan umum yang dapat kita lihat di Jakarta ada banyak, mulai dari macet, gelandangan, pengemis, pedagang kaki lima, pedagang asongan, dll. Anak muda tanggung berumur belasan tahun, bertopi lusuh, dan berkaos parpol luntur yang ia dapat entah pemilu kapan.Pernahkah kita berpikir beratnya membawa kotak asongan itu sepanjang hari dengan resiko barang dagangan rusak terkena hujan, ada orang yang tidak bayar, dipalak preman, sementara pejabat kita dengan acuhnya hanya membuat proses pengadilan negeri ini carut marut, kacau, dan berbau busuk politik bawah tangan?
Kita tentu sering melihat berita, entah setelah menza, atau sekedar santai di barak mengenai oknum corrupt dan berusaha mencari pembenaran dan justifikasi atas perbuatannya. Lihat saja Anas Urbaningrum yang terkenal dengan sumpah bahwa ia bersedia digantung di Monas jika terbukti korupsi. Atau dapat dilihat dari potret petinggi MK yang tertangkap KPK 1 Oktober lalu. Moral pejabat? Entah.
Sebenarnya, politik dan pejabat kita yang sudah lama berbau busuk KKN. Bukan sistem dan hukum yang kurang, tidak ada gunanya revisi hukum jika mental pejabat sendiri masih kurang miring dari kepala mereka yang katanya berpendidikan tinggi, lulusan universitas ABCD tapi harga diri masih lebih bagus pedagang asongan. Apa pendidikan kita salah? Tanyakan pada diri sendiri, pernah nyontek?
Sekarang, revisi hukum sebagus apapun tidak akan bisa memperbaiki peringkat Indonesia yang masuk 10 besar negara terkorup. Tidak juga pendidikan, karena negara kita juga masih menekankan sistem dimana hanya siswa yang memiliki kapasitas otak kirisaja yang dianggap berprestasi. Tidak juga moral, karena jika lingkungan sekitar kita tidak mendukung perbaikan moral maka sama sajadengan mengikuti arus. Mau lawan arus? Harus siap dianggap aneh dan beda sendiri.
Sekarang lihat ke bawah. Lihat pedagang asongan yang pagi, siang, malamnya dihabiskan mencari sesuap nasi. Hanya semudah itu untuk belajar menguapkan korupsi dari Pertiwi. Pedagang asongan yang dekil, teriak-teriak di terminal bis dan tempat pemberhentian angkot di Jakarta.Kenapa pedagang asongan? Kenapa tidak melihat potret pengemis, misalnya? Simpel, beda mereka cuma ada pada cara mereka mencari uang. Pedagang asongan kita, rekan-rekan, lebih rela rugi jika misalnya dagangannya rusak kena hujan, dipalak preman, ada pembeli yang kabur tidak bayar, daripada hanya mengharap tatapan mata iba yang dilakukan gepeng.
Lalu dimana harga diri pejabat yang menggembar-gemborkan janji saat kampanye yang ramai hanya jika ada penyanyi dangdut dan kaos parpol gratisan? Kita sendiri tidak buta, tidak tuli bahwa inilah kampanye politik pejabat Indonesia. Dan ketika pedagang asongan kita dengan susah payah bekerja keras demi uang dengan resiko yang jauh lebih banyak dan uang yang jauhlebih sedikit dari pengemis, para oknum kita dengan asyiknya terus mengasongkan harga diri mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H