Imam Asy-Syafi'i lahir di Gaza (Palestina) pada tahun 150 H. yaitu tahun wafatnya Abu Hanifah, Imam Mazhab Rasionalis (Ahlur Ra'yi) di Irak. Kenyataan itu menjadi bahan senda-gurau antara sejumlah ahli fikih mazhab Hanafi dan sejumlah ahli fikih mazhab Asy-Syafi'i. Orang dari mazhab Hanafi berkata, "Imam kalian terus bersembunyi hingga saat Imam kami mangkat."
Yang dari mazhab Asy-Syafi'i menjawab, "Begitu Imam kami lahir. Imam kalian cepat-cepat lari."
Imam Asy-Syafi'i lahir di zaman yang sarat dengan perdebatan antara pengikut Ahlul Hadis dan penganut Ahlur Ra'yi. Masing-masing fanatik menghadapi lawannya. Di antara penganut Ahlul Hadis (yakni mazhab Imam Malik) ada yang secara mutlak menolak array. Sedang kan di antara pengikut mazhab ar-Ra'y ada yang lemah menghadapi hadis-hadis yang salih (hadis-hadis sahih atau mutawatir).
Zaman itu adalah zaman yang membedakan antara orang alim (ilmuwan) dan orang yang menguasai ilmu fikih (fqih), Yang dimaksud dengan "ilmu" pada masa itu adalah hapal Al-Qur'an, hadis-hadis, serta pusaka pemikiran dan amalan para sahabat Nabi saw. (atsar). Sedangkan yang dimaksud dengan fikih yaitu penggunaan akal, pikiran, ijtihad, pengamatan, dan ketajaman berpikir untuk menggali ketentuan hukum syariat mengenai masalah yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur'an dan Sunnah. Adakalanya seseorang mempunyai keahlian di kedua bi-dang tersebut, yakni seorang ilmuwan dan sekaligus ahli fikih. Orang seperti itu termasuk dalam jajaran orang-orang besar [1]
Nama lengkap Imam Asy Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-'Abbas ibn Asy-Syafi'i ibn As-Sa'ib ibn 'Ubayd ibn 'Abduyazid ibn Muththalib ibn 'Abdulmanaf. Muththalib adalah saudara kandung hasyim ibn 'Abdumanf. Sedangkan Hasyim adalah ayah 'Abdul Muththalib, datuk Nabi Muhamad saw Pada musim-musim dingin. Hasyim berkerja memimpin kafilah Quraisy ke negeri Syam (di masa jahiliah), la meninggal dunia di perantauan dan jenazahnya dikebumikan di kota Gaza (Palestina)
Imam Syafi'i adalah orang yang luas ilmunya. Namun, untuk bisa memiliki ilmu yang sangat luas tersebut, Imam Syafi'i harus mencari ilmu ke berbagai negeri. Dalam sejarah, tercatat bahwa Imam Syafi'i menuntut ilmu selama enam periode, yakni Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Baghdad, dan Mesir. Di enam negara itulah, Imam Syafi'i menempuh pendidikannya hingga ia berhasil menjadi seorang ulama tersohor dan terpandang. Selain itu, perjalanan yang begitu panjang dalam menuntut ilmu juga telah mengantarkannya menjadi seorang Imam Mazhab.
Dalam menuntut ilmu, Imam Syafi'i terkenal sangat rajin dan tekun. Sehingga, tidak heran jika berkat sikapnya yang rajin dan tekun itu, ia diberi izin oleh Imam Muslim bin Khalid al-Zanji untuk berfatwa pada usia yang sangat belia, yakni 15 tahun. Izin tersebut diberikan oleh gurunya setelah mereka melihat kemajuan yang pesat pada dirinya. Imam Muslim bin Khalid al-Zanji pun melihat bahwa Imam Syafi'i telah menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak menguasai persoalan-persoalan keagamaan. [2]
Semenjak Asy-Syafi'i kembali ke Mekah dari Baghdad, ia menggunakan manhaj (metode) seorang ahli fiqih tanpa mengikuti gurunya, baik Malik maupun Muhamad bin Hasan Asy-Syaibani, schingga Imam Ahmad berkomentar, "Pintu fiqih tertutup bagi yang mendalaminya sehingga Allah membukakannya melalui Asy-Syafi' Orang-orang menyambut apa yang dihadirkan oleh As-Syafi'i sebagai ilmu baru sehingga kekaguman kepadanya menyebar di Baghdad pada tahun 195 H. Imam Al-Karabisi bertutur, "Kami tidak mengenal apa itu Al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma', kecuali hanya dari Asy-Syafi'i yang membicarakannya berdasarkan Kitabullah, As-Sunnah dan Ijma."
Di Baghdad Asy-Syafi'i membawa ilmu baru yang belum dikenal itu. Ia menjelaskannya sekalipun ia tidak menciptakannya secara sempurna. Dalam membahas tentang fiqihnya, ada dua hal yang harus penulis sampaikan secara ringkas yaitu dalil yang menjadi dasar bagi bangunan fiqihnya, dan ilmu ushul fiqih itu sendiri. Fiqih Asy-Syafi'i diambil dari lima sumber. Ia menyebutkan dalam kitabnya Al-Umm, "Ilmu itu bertingkat-tingkat. Yang pertama Kitabullah dan Sunnah yang shahih, kedua ijma' pada perkara yang tidak ada di dalam kitab dan Sunnah, ketiga ucapan seorang sahabat yang tidak ada menentangnya ,keempat ikhtilaf para sahabat, dan kelima qiyas. Semuanya tidak diacu selama masih ada Kitabullah dan Sunnah. Oleh karena ilmu itu diambil dari yang paling tinggi."
Para fuqaha syafi'iyyah membagi ijtihad Imam Syafii menjadi dua bagian, yaitu versi lama (qadim) dan versi baru (jadid) yang kemudian dikenal dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid. Walaupun sebenarnya kata qaul merupakan kata tunggal yang jamaknya adalah aqwal namun istilah qaul yang sering digunakan dalam mengutarakan kumpulan fatwa -- fatwa imam syafii baik versi lama maupun versi baru.
Telah disebutkan diatas bahwa salah satu faktor yang meyebabkan adanya qaul qadim dan qaul jadid dalam ijtihad Imam Syafii karena Beliau menemukan hadis dan pemahaman fiqih yang diriwayatkan fuqaha Mesir yang tergolong ahl-Hadis. Pendapat Asy-Syafii yang disampaikan kepada muridnya dan ditulis di Mesir disebut qaul jadid. Adapun sebab hadirnya qaul jadid karena Asy-Syafii mendapatkan hadis yang tidak ia dapatkan di Irak dan Hijaz dan ia menyaksikan adat istiadat dan aktivitas muamalah yang berbeda dengan Irak. [3]