Tahun pelajaran tidak lama lagi akan berakhir. Para guru dan tenaga kependidikan tengah disibukkan dengan kegiatan akhir tahun. Ujian akhir kelas XII pun telah berakhir. Penilaian akhir semester genap untuk kelas X dan XI juga akan segera dilaksanakan pada awal Juni. Sekolah juga tengah disibukkan dengan agenda tahunan para siswa yaitu kegiatan Perpisahan dan pelepasan siswa siswi kelas XII.  Perpisahan dan pelepasan siswa siwi kelas XII merupakan kegiatan rutin sekolah yang  dilaksanakan setiap tahun setelah semua proses pembelajaran kelas XII selesai.
Acara perpisahan ini sudah lama ada di tengah kehidupan sekolah, kegiatan sepertinya sudah menjadi semacam tradisi. Termasuk ketika penulis mengenyam pendidikan di sekolah dulu. Namun, terkait dengan pelaksanaan kegiatan perpisahan seperti ini, ternyata selalu saja menuai pro dan kontra. Baik itu di praktisi ataupun di masyarakat luas. Aduan sebagai bentuk protes juga sangat beragam, disampaikan langsung ke sekolah, dan teranyar adalah melalui media sosial. Disatu sisi hal ini dapat dimaklumi, di era bebas  bermedia sosial dan keterbukaan informasi, penyampaian protes di media sosial menjadi pilihan yang gampang dilakukan, yang walaupun kadang membuat  masalah semakin runyam.  Terkadang disini sekolah menjadi pesakitan yang akan dihujat oleh beberapa pihak. Belum lagi ketika mendapat respon netizen /warganet. Isu ini  dengan mudahnya menjadi viral. Nah, kalau sudah begini, maka semakin repot ceritanya, karena kita seolah-olah ingin mencari 'kambing hitam' dalam persoalan ini.
Kembali pada konteks pro dan kontra, jika mengamati pendapat yang berkembang kemudian di dunia maya, alasannya juga sama semenjak dulu ketika penulis masih sekolah, yaitu kegiatan ini sangat memberatkan wali siswa karena kegiatannya dibebankan kepada siswa itu sendiri. Tetapi kegiatan itu selalu tetap dapat terlaksana, dengan alasan untuk memotivasi dan memunculkan kebanggaan warga sekolah, sarana mengekspresikan minat bakat, termasuk sebagai sarana kemunikasi antar warga sekolah yaitu siswa, guru, komite dan orang tua atau wali siswa. Belum lagi jika kita mengaitkannya pada salah satu tujuan yang akan dicapai pada kurikulum merdeka yaitu diharapkannya dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk "mengalami pengetahuan" sebagai proses penguatan karakter, sekaligus kesempatan untuk belajar dari lingkungan sekitarnya . Ini artinya ada manfaat yang  besar dalam pelaksanaan kegiatan seperti ini, sehingga persoalan protes tadi terabaikan.
Merujuk pada dalil antara pro dan kontra  untuk kegiatan itu. Bagi pihak yang kontra, dalilnya merujuk kepada Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012 tentang pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan, dimana pada Permendikbud itu disebutkan bahwa, "satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan. Pungutan itu juga tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan".
Sedangkan pada pihak yang pro memegang dalil pada pasal 46 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Selain itu juga beralasan bahwakegiatan ini memiliki manfaat bagi siswa ataupun warga sekolah yang telah penulis sebutkan pada paragraf sebelumnya. Apalagi  dalm persiapan kegiatan pihak sekolah sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan siswa yang memang dari merekalah ide ide pelaksanaan kegiatan ini muncul, dan atas persetujuan komite sekolah maka pihak sekolah tinggal memutuskan secara bersama dilaksanakan atau tidak kegiatan ini. Lalu apakah ini mau dianggap sebagai pungutan liar? Menurut pendapat penulis itu bukan pungutan liar. Memang kondisi ini berpotensi menjadi 'bola liar', jika tidak terkomunikasi dengan baik. Ditambah lagi dugaan beberapa pada pihak bahwa pihak sekolah yang menjadikan kegiatan ini sebagai kesempatan meraih pendapatan. Penulis tidak menafikkan adanya pengaduan orang tua dari beberapa sekolah untuk hal tersebut.
Perlu diingat bahwa protes berlebihan ini juga tak jarang berujung kepada tercorengnya nama sekolah. Kalau sudah demikian siapa yang dirugikan, tentu semua warga sekolah.
Penulis mencoba melihat dari sudut pandang bahwa secara substansi ada celah yang menjadi solusi dalam menyikapi masalah ini, sehingga kita tidak perlu mencari siapa yang salah atau yang perlu 'dikambing hitamkan'. Solusi utamanya adalah komunikasi dalam penyatuan visi untuk memajukan sekolah, semakin banyak sarana komunikasi yang digunakan, masalah ini juga dapat diminimalisir. Artinya sarana komunikasi pihak sekolah juga perlu diperbanyak, atau tidak terbatas pada rapat lantas dianggap selesai.
Penulis yakin dengan demikian tingkat kesadaran warga sekolah tentang perannya dalam memajukan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama akan semakin kuat, dimana peran yang bisa dilakukan oleh warga sekolah atau masyarakat melalui komite secara gotong royong juga akan semakin meningkat. Dari salah satu sumber yang penulis baca bahwa salah satu merosotnya mutu pendidikan karena kurang memaksimalkan komunikasi dan informasi dalam dunia pendidikan termasuk di dalamnya menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan masyarakat. Maka jika kita melihat apa yang menjadi tujuan dari perpisahan yaitu sebagai bagian dari upaya peningkatan minat dan bakat, tentu ini menjadi wilayah peningkatan mutu. Lantas apakah kita tega untuk berlepas tangan terhadap kegiatan memiliki yang positif untuk anak didik kita ini?
Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (1) disebutkan mengenai peran Komite Sekolah. Peran komite sekolah seperti ini diatur jelas dalam Permindikbud tersebut yang menyebutkan bahwa Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Kemudian pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Yang menjadi solusi berikutnya, adalah membangun dan memperkuat kepercayaan kepada pihak sekolah. Mari kita hilangkan pikiran apalagi memposting suatu masalah sekolah tanpa tabayyun terlebih dahulu, yang akan membuat sekolah seolah terkesan 'kotor' dengan menganggap bahwa, kegiatan sekolah seperti ini hanyalah sebatas kegiatan seremonial yang hanya menghabiskan dana dan biaya sia-sia, apalagi sampai menganggap ini akal-akalan pihak sekolah untuk memungut biaya. Bukankah semua kita membutuhkan sekolah sebagai tempat yang tepat untuk menuntut ilmu? Hari ini tidak berlebihan jika kita melihat bahwa sekolah menjadi tumpuan harapan disaat para orang tua karena tidak mampu mengawasi dan mendidik seutuhnya putra putri mereka. Mari kita jaga sekolah kita! Untuk apa berbeda kalau bisa sama, apalagi berpro dan kontra hanya karena hal sepele. Intinya adalah mari saling percaya dan menjaga komunikasi.