Pada suatu malam di bulan Ramadhan saat Rasulullah saw. sedang i'tikaf, beliau bercakap-cakap
[caption id="attachment_22179" align="alignright" width="169" caption="Illustrasi dari: labiqnews.wordpress.com"][/caption]
dengan salah seorang istrinya di pintu masjid. Tiba-tiba dua orang sahabat Anshar berlalu di dekat mereka, dan segera mempercepat langkah kakinya saat melihat Rasulullah saw. bersama wanita tersebut. Melihat kedua sahabat itu, Rasulullah saw. Segera memanggil mereka dan berkata, "Pelanlah sahabat! Wanita itu adalah Shafiyah binti Huyay." Dengan agak terkejut kedua sahabat itu berkata, "Subhanallah! Adakah keraguan terhada dirimu, wahai Rasulullah?" Beliau berkata, "Ketahuilah, bahwa syetan itu mengalir dalam diri seorang di antara kalian seperti aliran darah daging dan darahnya, dan saya tidak ingin syetan meletakkan keburukan dalam kedua hati kalian!" (lihat Adabud Dunya wa ad-Diin hal: 315)
Ada satu pelajaran sangat berharga dari kisah di atas, yaitu sikap tanggap dan sensitivitas Rasulullah saw. yang sangat tinggi terhadap akibat yang mungkin muncul terhadap kesalahan persepsi sahabatnya atas apa yang dilihat dan disaksikannya. Sehingga beliau merasa harus memanggilnya untuk menjelaskan kepadanya bahwa wanita yang bersamanya saat itu adalah istrinya, agar tidak muncul dugaan dan syak-wasangka negatif dalam hati hingga membuat mereka terjerumus dalam dosa.
Di sekitar kita, berseliweran banyak history yang nyaris sama dengan penggalan kisah di atas. Namun yang berbeda adalah sensitivitas dan spontanitas kita menyikapi situasi seperti itu. Disinilah muncul apa yang saya sebut dengan "Virus Pembiaran". Dimana kita -terkadang- melakukan pembiaran terhadap sebuah tindakan dan prilaku yang mungkin saja -pada ujungnya- menimbulkan efek samping sangat berbahaya. Ada 3 hal mendasar yang menurut saya menjadi bahaya laten bila virus pembiaran ini dibiarkan merebak:
Pertama: Munculnya fitnah
Ketika kita membiarkan sebuah dugaan dan asumsi negatif terhadap tindakan yang dilakukan seseorang, maka pembiaran itu akan menimbulkan efek saling tidak percaya. Bahkan yang lebih dahsyat adalah ketika asumsi negatif itu tidak menemukan klarifikasi dan dibiarkan mengelinding laksana bola salju akhirnya berkembang menjadi fitnah. Pada titik inilah segalanya akan menjadi sangat runyam dan pelik karena keterlibatan banyak individu dalam ruang dugaan yang sesungguhnya adalah fitnah.
Tabaayun, atau meminta klarifikasi untuk mendapatkan fakta dan penjelasan yang benar dan utuh adalah sesuatu yang diperintahkan Allah Ta'ala sebelum dugaan tak berdasar itu terus menggelinding dan diketahui oleh orang-orang yang tidak berhak mengetahuinya. Meminta atau memberi klarifikasi mutlak dilakukan, agar pihak pertama tidak terjatuh dalam dosa besar karena fitnah yang disebarkannya, dan pihak kedua tidak membiarkan syetan menjerat saudaranya ke jurang dosa. Karena itu, keberanian meminta klarifikasi perlu dimiliki agar dugaan yang cenderung salah tidak muncul, dan yang lebih penting, hati tetap bersih dan selamat dari dosa.
Mungkin kita pernah mendengar sebuah pesan yang mengatakan, bahwa cukuplah sebuah dusta bagimu bila engkau menceritakan segala sesuatu yang engkau dengar. Pesan ini tentu tidak terkait dengan cerita yang mengandung kebaikan dan manfaat. Tapi pesan ini mewanti-wanti kita agar berhati-hati menceritakan kembali berita yang belum pasti kebenarannya, sehingga kita tidak terjerumus dalam dosa. Nah, jauh sebelum cerita dusta itu berkembang menjadi namimah, ghibah hingga fitnah, maka diperlukan klarifikasi sejak dini agar cerita dusta tersebut tidak semakin berkembang luas.
Lalu bagaimana bila tabayyun dan klarifikasi sudah disampaikan tapi cerita dusta, ghibah hingga fitnah itu tetap saja menggelinding bak bola salju? Maka kembalikan segalanya kepada Allah Azza wa Jalla, Dialah tempat kita memohon perlindungan.
Kedua: Menciptakan Efek Domino
Salah satu kegagalan pemerintah mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di tanah air karena adanya pembiaran terhadap berbagai prilaku atau tindakan masyarakat umum yang pada dasarnya bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Contoh paling sederhana adalah, ketika terjadi penggusuran terhadap masyarakat penghuni sebuah tempat yang bukan milik dan hak mereka, atau sering disebut sebagai 'penghuni liar', itu berawal dari adanya pembiaran terhadap apa yang mereka lakukan. Ketika satu dua warga dibiarkan mendiami lokasi yang bukan hak mereka, pada akhirnya menciptakan efek domino. Kawan-kawan, keluarga atau kerabat mereka lalu datang berbondong-bondong menempati lokasi tersebut. Yang lebih aneh adalah ketika mereka juga bayar PBB, listrik dan segala macam yang bisa diartikan bahwa mereka penghuni legal di lokasi tersebut. Dan ketika pemerintah setempat mulai sadar, penguni liar itu pun lalu digusur dengan melibatkan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Demikian pula yang kerap terjadi pada pedagang kaki lima yang pada mulanya dibiarkan karena dianggap hanya beberapa orang saja. Dan ketika mulai mengganggu pengguna jalan, mereka pun akhirnya digusur dengan sangat kasar, terkadang tampak tak manusiawi dan bahkan kerap menyisakan cerita pedih.
Korupsi yang hingga saat ini masih merajalela juga sesungguhnya berawal dari adanya pembiaran terhadap tindakan amoral tersebut. Dianggap biasa saja bahkan lumrah dan akhirnya menjadi prilaku yang melekat dalam diri koruptor. Dan untuk membasami penyakit tersebut ternyata bukan pekerjaan mudah, apalagi ketika dilakukan secara berjamaah dan bahkan melibatkan institusi.
Ketiga: Keburukan Bagi yang Lain.
Ketika hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tidak menciptakan efek jera, maka itu sama saja dengan membiarkan virus kejahatan tersebut terulang kembali dan memangsa yang lain. Saat menyaksikan sebuah kejahatan terjadi, maka kita, atau keluarga korban kadang berkata lirih, "Semoga ini (kejahatan) yang terakhir dan tidak menimpa orang lain." Dan ternyata harapan itu sangat sulit terwujud.
Memang benar bahwa ketika pelaku kejahatan dihukum dan dijebloskan ke dalam penjara, maka tujuan dari hukuman tersebut adalah membuatnya sadar dan tidak mengulangi kembali kejahatannya. Namun ternyata tidak demikian adanya. Di antara mereka yang keluar dari penjara tidak sedikit yang justru kian berani dan lihay menjalankan aksinya, bahkan jauh lebih mahir dari sebelumnya.
Semua ini menunjukkan bahwa ketika virus pembiaran terjadi di ranah hukum, maka akibatnya pun akan sangat fatal. Sebab itu kejahatan di tengah kita seakan tiada habisnya, karena hukum dan undang-undang yang berlaku dibiarkan berjalan apa adanya, jauh dari kemungkinan memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Wallahu a'lam!
Utan Kayu, 5.11.2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H