Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbah Surip dan WS.Rendra: Bukan Sekedar Seniman

8 Agustus 2009   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:51 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selalu ada pelajaran berharga yang ditinggalkan orang-orang besar setelah mereka pergi meninggalkan dunia fana ini menuju haribaan Tuhannya. Dan kita yang mengenal sang tokoh, atau pernah bersentuhan langsung dengan karya besar yang dilahirkannya akan merasakan adanya ruang kosong yang ia tinggalkan, dan seakan sulit menemukan kembali sosok pengganti yang dapat menutupi ruang kosong itu. Atau terkadang kita baru tersadar setelah kepergiannya, bahwa betapa sangat penting dan berharganya ia, namun kita terlambat menyadarinya. Sebagaimana tulisan Bung Judhiyudono tentang Rendra di Blog Kompasiana ini.

Mungkin ada yang bertanya, apakah layak nama Mbah Surip disandingkan dengan kebesaran nama WS. Rendra yang sudah lebih dahulu dikenal di seantero negeri sebagai sastrawan yang tetap konsisten membela rakyat kecil, menggugat ketidakadilan, mengangkat masalah social, berkisah tentang cinta, harapan, cita-cita dan berbagai hal melalui bait-bait syair yang menggugah jiwa? Hemat saya, kita tidak usah berpolemik tentang masalah tersebut. Setidaknya bahwa, nama Mbah Surip juga dapat dimasukkan dalam lembar catatan sejarah perjalanan bangsa ini sebagai seniman yang tetap konsisten dengan peran dan profesinya, walau rentang masa sulit penuh duka jauh lebih lama ia nikmati ketimbang popularitas dan kekayaan yang hanya seumur jagung.

Lalu pelajaran apakah yang dapat kita petik dari mereka berdua baik sebagai pribadi maupun melalui karya seni yang dihasilkannya?

Pertama:Konsistensi dan semangat untuk terus berkarya dan berkreasi adalah pelajaran penting pertama yang dapat dipetik dari kedua tokoh kita ini. Saya sendiri tidak pernah mendengar bahwa WS. Rendra coba berpindah ke jalur musik atau film saat popularitas menjamahnya. Atau karena apa yang ia peroleh sebagai seniman sastra tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari apalagi dengan 3 orang istri.

Demikian pula yang kita ketahui tentang Mbah Surip, yang sebagian besar dari perjalanan hidupnya sebagai seniman jalanan sarat dengan keterbatasan, hidup nelangsa, bahkan terkadang tidak memiliki sepeser uang pun walau hanya untuk membayar ongkos tukang ojek. Tapi justru dalam kehidupan serba sulit seperti itu ia tidak menyerah dan putus asa, atau coba beralih ke jalur sastra. Lagu lama yang ia ciptakan terus saja ia senandungkan dari panggung ke panggung disertai tawanya yang khas; ha ha ha…, dan momentum itu kemudian datang menghampirinya, melontarkannya ke atas singgasana popularitas dan kekayaan dalam angka milyaran rupiah. Enak tho, mantap tho…

Kedua: Jalur seni yang dipilih oleh kedua tokoh kita ini tidak bersentuhan dengan eksploitasi aurat, atau menabur racun syahwat di kepala para penggemarnya. Seabagaimana yang dilakukan banyak pelaku seni di negeri ini, yang dengan alasan seni dan kebebasan berekspresi rela menjajakan tubuh dan aksesori miliknya yang paling pribadi sekalipun hanya untuk memuaskan dahaganya terhadap materi.

Saya terkadang heran dan takjub terhadap para pelaku seni yang tidak pernah sadar bahwa apa yang ia jual sebagai jasa itu akan tetap dinikmati oleh banyak orang, disaksikan puluhan mata, dan dilihat dari satu generasi ke generasi berikutnya, walau ia telah tiada. Bila yang ia hasilkan adalah keburukan dan ajakan kepada kemaksiatan, maka dosanya akan selalu jaariyah (mengalir) walau ia telah tiada. Maka waspadalah! Waspadalah!

Ketiga: Kesabaran menghadapi berbagai resiko dan konsekwensi atas pilihan yang diambil adalah pelajaran ketiga dan terakhir dari kedua tokoh kita ini.

Banyak hal pahit, getir dan tidak menyenangkan dialami oleh kedua tokoh kita ini sepanjang perjalanan mereka sebagai seniman. Namun pada saat yang sama mereka tetap memiliki kemampuan mengatasi berbagai resiko itu. WS. Rendra: pernah ditangkap dan ditahan dimasa Orde Baru. Mbah Surip: hidup serba terbatas, tidak punya uang, dikendalikan dan ‘diikat’ (saat laris show dan pentas dimana-mana) de el el. Itulah sejumlah resiko yang harus diterima sebagai konsekwensi dari sebuah pilihan hidup.

Tentu masih banyak pelajaran lain yang dapat kita temukan dari kedua tokoh seni kita ini. Pelajaran yang seharusnya membuat kita lebih sabar, konsisten dan memberi manfaat serta energi positif bagi orang lain apapun profesi yang kita geluti.

Mbah Surip dan WS. Rendra, memang bukan sekedar seniman!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun