Sepanjang sejarah pelaksanaan Pemilu di tanah air, maka Pemilu 2009 selayaknya memperoleh penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI) karena pemecahan rekor dalam berbagai kategori berikut: termahal, terbanyak kontestannya, terbanyak jumlah calegnya, terbanyak kursi yang diperebutkan dan teramburadul pelaksanaannya. (menurut sejumlah pengamat, maaf ya KPU). Ada yang mau nambahin??? Monggo, mas!!!
Namun dari berbagai catatan “ter” diatas, yang paling memiriskan hati kita dari pemilu tahun ini adalah jatuhnya korban jiwa yang tidak hanya terjadi pada saat kampanye berlangsung, tetapi lebih khusus lagi ketika hasil perolehan suara partai dan caleg diketahui oleh setiap caleg bersangkutan. Apa yang diprediksi banyak orang sebelum Pemilu digelar, khususnya pengamat dan dokter sakit jiwa bahwa akan jatuh korban jiwa, bertambahnya orang stress, depresi dan gila benar adanya. Padahal ketika mengetahui prediksi tersebut melalui sejumlah media, dalam hati saya berkata, “Semoga hal itu tidak terjadi.” Dan ternyata, saya salah.
Jatuhnya korban jiwa; meninggal karena sakit jantung, atau bunuh diri ditambahnya dengan korban psikis lainnya sebab gagal masuk di parlemen itulah yang disesali banyak kalangan. Sangat disayangkan, Pemilu kali ini yang seharusnya lebih baik daripada 5 tahun lalu justru menciptakan banyak tragedy memilukan. Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Apakah Pemerintah yang lemah melakukan control terhadap jalannya pemilu, ataukah KPU yang tidak bisa bekerja dengan baik, ataukah partai peserta Pemilu yang tidak memiliki standar rekrutmen calon anggota legislative, ataukah mereka sendiri yang jadi korban yang layak dipersalahkan?
Selain pembatasan jumlah kontestan peserta pemilu dan mempersiapkan anggota KPU yang cakap, setiap partai seharunya merekrut kader yang layak dijadikan sebagai caleg setelah melalui proses fit and propertest. Walau saya berprinsip, bahwa kader partai sesungguhnya tidak direkrut tapi dibentuk, sehingga dia layak jadi caleg atau pemimpin, memiliki afiliasi, militansi dan mental yang baik. Apabila gagal, dia tidak strees, depresi, gila apalagi bunuh diri.
Inilah yang menjadi kelemahan sebagian besar partai khususnya partai-partai baru yang tidak mampu membentuk kader tangguh hingga memiliki kapasitas yang layak untuk dijadikan sebagai caleg. Yang kita saksikan adalah rekrutmen tanpa aturan dan standar penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan. Tapi hanya didasarkan pada alasan berikut ini, misalnya, memiliki dana besar atau sebagai tokoh. Walau sang tokoh tidak memiliki pengetahuan memadai dan mental yang lemah. Akibatnya adalah, ketika hasil yang dinginkan jauh panggang dari api, apalagi telah mengeluarkan dana besar, muncullah akhirnya tragedy memilukan menimpa orang-orang tersebut.
Banyak catatan dan pelajaran penting yang ditinggalkan oleh Pemilu 2009 ini, yang semoga tidak terjadi lagi pada pemilu berikutnya. Harapan saya, bila mau jadi caleg berpikirlah masak-masak, siapkan dana besar dan ikhlaskan untuk konstituen, jangan terlalu berharap dapat dukungan apalagi kursi, tetap bekerja keras, berdoa dan tawakkal. Ini penting, agar Anda tidak stress, depresi akhirnya gila. Apalagi mengakhiri hidup dengan tragis. Satu lagi, chek up kesehatan. Dan bila mengidap penyakit jantung, sebaiknya mundur dari kompetisi itu dan biarkan yang lain menggantikan Anda. Agar tak ada lagi Pemilu yang bikin pilu!
Utan Kayu, 15.08.2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H