Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anakku Cacat, Istriku Pergi Meninggalkanku!

9 Desember 2009   19:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_35888" align="alignleft" width="225" caption="Pak Slamet dan putranya, Raihan"][/caption]

Hanya orang istimewa yang mampu bertahan dari ujian dan cobaan panjang yang Allah berikan padanya, menghadapi semua itu dengan kesabaran, ketabahan dan ketulusan hati karena mengharap ganjaran pahala dari Allah Azza wa Jalla. Dia-lah yang memberikan cobaan kepada siapa pun yang IA kehendaki. Dan setiap kita mungkin tahu, bahwa al-khaer (kebaikan hidup di dunia) dan asy-Syar (kesempitan hidup), keduanya adalah ujian. Ada yang berhasil lulus dari kedua ujian tersebut dan adapula yang akhirnya gagal.

Salah seorang yang istimewa itu, menurut saya, adalah Pak Slamet, lelaki usia 45 tahun yang selalu berusaha mencari kesembuhan bagi putra tercintanya, Raihan, yang sekarang berusia 17 tahun. Ya, selama 17 tahun pula Pak Slamet mendampingi putra pertamanya yang cacat ini; membopongnya ke kamar mandi untuk sekedar pipis atau mandi, menyuapinya, atau mendorong kursi rodanya menelusuri jalan, agar Raihan juga dapat menyaksikan betapa indahnya dunia yang tak dapat ia nikmati sepenuhnya sebagaimana anak normal lainnya.

Pak Slamet tidak pernah menyangka bahwa anak pertama dari hasil pernikahannya dengan Ibu Mutia (nama disamarkan) tumbuh dalam keadaan terbelakang secara mental. Pertumbuhannya yang tidak normal itu ia mulai sadari saat Raihan berusia satu tahun. Berbagai usaha ia lakukan sesuai kemampuan yang ia miliki agar putra pertamanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai harapannya, namun ternyata takberhasil juga

Saya sendiri telah lama mengetahui keadaan keluarga Pak Slamet dan kondisi Raihan, dan sangat bersimpati dengan apa yang mereka alami. Alhamdulillah, pada Rabu sore hari ini saya berkesempatan berkunjung ke rumahnya yang sederhana di jalan Galur Sari, Utan Kayu Selatan dan menyaksikan secara langsung kondisi Raihan yang juga tinggal bersama kakek dan neneknya. Setelah berbasa-basi sejenak, saya pun menanyakan hal-hal penting terkait kondisi Pak Slamet sendiri dan putranya.

"Apakah Pak Slamet sudah tahu bahwa Raihan cacat sejak baru lahir?"

"Tidak sama sekali. Pada awalnya dokter di rumah sakit hanya menahan dan mewanti-wanti saya dan istri untuk tidak membawa anak kami pulang terlebih dahulu. Tapi karena istri saya melihat bayi kami baik-baik saja, akhirnya kami bertekad untuk pulang saja. Sehari kemudian, Raihan kejang. Kami pun segera membawanya ke rumah sakit dimana ia lahir. Namun karena tidak ada ruang kosong, kami lalu membawanya ke Rumah Sakit St. Carolus dan dirawat disana selama beberapa hari".

"Lalu, perkembangan selanjutnya, bagaimana, pa?"

"Setahun kemudian ternyata perkembangan fisik Raihan tampak tidak tumbuh dan berkembang secara normal. Itu ditandai dengan ketidakmampuannya membalikkan badan, tidak aktif bergerak dan lain sebagainya".

Dan setelah Pak Slamet mengetahui bahwa anaknya tumbuh cacat yang oleh seorang kawan tenaga medis, Bp. Teguh, Sf yang bekerja di RSCM mengatakan bahwa Raihan menderita penyakit Retardasi Mentalyang juga disebut dengan Keterbelakangan Mental. Yaitu suatu keadaan dimana Intelegensia anak tersebut kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak), Saat itulah Pak Slamet tidak pernah lagi membawa anaknya ke rumah sakit, kecuali terapi tradisional, atau pijat.

Faktor ekonomi bisa jadi sebagai alasan utama bagi Pak Slamet tidak dapat memberikan pengobatan maksimal di rumah sakit bagi putranya. Dan karena factor ekonomi pula sang istri, Ibu Mutia , akhirnya menuntut cerai, dan mereka pun berpisah pada tahun 2004. Adapun Raihan berada di bawah tanggung jawab ayahnya, sementara anak kedua, adik Raihan perempuan ikut Ibu Mutia. Dan konon kabarnya, mantan istrinya tersebut sudah menikah untuk yang kedua kalinya.

"Apakah ibu Raihan masih sering datang kemari menjenguk putranya?" tanyaku

"Awal perceraian kami, sih, ia masih sering datang kemari. Dan beberapa tahun terakhir  ia nyaris tidak pernah lagi kemari."

"Apakah karena faktor Raihan yang cacat sehingga ia minta cerai?"

"Tidak! Bukan karena itu! Masalah utamanya karena faktor ekonomi". Ketika itu Pak Slamet bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan percetakan kaset. Penghasilannya memang tidak seberapa, walau ia tidak menyebutkan jumlah gaji yang ia peroleh ketika itu. Dan setelah perusahaan tersebut berhenti beroperasi, Pak Slamet kini bekerja sebagai tenaga pengajar di salah satu lembaga pendidikan dengan gaji 800 ribu perbulan. Sementara istrinya terkadang menerima pesanan kue dari para tetangga dan kenalannya.

Tinggallah Pak Slamet yang mengurusi Raihan bersama istri keduanya yang ia nikahi sekitar  tiga tahun lalu. Ia juga menceritakan bahwa sebelum mereka resmi menikah, ia mengundang calon istrinya itu terlebih dahulu untuk menyaksikan kondisi anaknya, Raihan. Khawatir calon istrinya tidak siap memiliki anak yang cacat dan terbelakang secara mental. Dan ternyata calon istrinya menganggap hal tersebut bukan sebagai masalah, dan mereka pun menikah.

 

Sejak sebulan lalu Raihan diterapi di Rumah Kampus (Home College) binaan Program Diploma IPB yang terletak di Jl. Kramat Asem Raya, Kelapa Mas. No. 16. UKS. Jakarta timur. Setiap bulan Pak Slamet harus menyisihkan sebagian besar penghasilannya dan pendapatan istrinya dari membuat kue untuk membayar biaya terapi sebesar 1 juta 250 ribu rupiah . Tapi karena Pak Slamet berasal dari keluarga tidak mampu, pihak Rumah Kampus lalu memberinya dispensasi atau keringanan biaya, sehingga Pak Slamet sangat terbantu dengan keringanan biaya tersebut.

 

Saat memasuki rumah Pak Slamet pada Rabu sore kemarin, Raihan yang ketika itu sedang duduk hanya

[caption id="attachment_35890" align="alignright" width="225" caption="Saya bersama Pak Slamet"][/caption]

dapat membuka mulut disertai teriakan kecil dan senyum gembira menyambut kedatanganku. Tangannya ia gerakkan seakan hendak menjabat tanganku. Saya pun mendekatinya, menyalaminya dan sambil mengusap kepalanya lembut. Sungguh trenyuh menyakiskan anak muda berusia 17 tahun ini hanya dapat berbaring atau duduk di atas peraduannya. itupun harus disanggah. Mandi, pipis dan lainnya harus dibantu sang ayah dan kakeknya yang sudah sepuh. Sangat, sangat mengharukan!

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]--> <!--[endif]-->

Itulah Pak Slamet, senantiasa bersangka baik kepada sang Khalik, bahwa selalu ada hikmah dibalik cobaan dan ujian ini. Ia tetap berusaha sesuai kemampuan yang ia miliki agar Raihan, kelak dapat berkata padanya dengan suara lembut, ”Apa kabar, ayah?” dan dia akan menjawab, ”Kabar baik, anakku, sayang”. Saya memandang wajah Pak Slamet yang tetap menampakkan optimisme, senyum menghiasi bibirnya menyaksikan putranya yang duduk dihadapannya sambil menggerakkan tangannya, seakan hendak mendekapnya dan membisikkan padanya, "Aku mencintaimu, ayah, sepenuh hatiku. Terima kasih, ayah, atas segala pengorbananmu".

Utan Kayu, 9 Desember 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun