Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Sampai Gagal Sebagai Orang Tua!

2 November 2009   14:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_21137" align="alignleft" width="240" caption="Album Keluarga"][/caption]

Sangat menarik apa yang diceritakan oleh Pak Budiman Hakim di blognya yang dapat dibaca disini, tentang seorang karyawan di kantornya bernama Iyus yang sepakat dengan istrinya mengadopsi seekor anjing sebagai anak angkat, karena sebuah alasan, bahwa ia sebagai orang tua tidak ingin direpotkan dengan kehadiran anak di tengah mereka. Ia merasa bahwa menjadi orang tua bagi anak-anak tersebut dengan sendirinya melahirkan tanggung jawab besar; mendidik, membina, menyuruh sholat, mengaji, menanamkan budi pekerti dan sebagainya, yang bagi seorang Iyus, semua itu sungguh tidak menyenangkan baginya. Bahkan hanya merepotkannya sebagai manusia yang ingin menikmati hidup dan kehidupan ini. Sebab itulah ia akhirnya mengadopsi seekor anjing.

Pembaca yang budiman! Saya sangat tidak menyarankan Anda mengikuti langkah Iyus karena alasan seperti yang ia kemukakan di atas. Sebuah alasan yang nyaris tidak masuk akal bahkan mungkin pada kisah inilah kita mengetahui ada seseorang yang berprilaku demikian seperti itu. Namun bagaimana pun ini menarik untuk dikaji, bahkan alasan seorang Iyus yang tidak ingin memiliki anak sungguhan dan karena itu memutuskan untuk mengadopsi seekor anjing, seakan menyentil kita yang bergelar sebagai orang tua, namun pada esensinya gagal memerankan diri sebagai orang tua yang baik. Ada kalimat bagus yang patut dicamkan, "Menjadi tua itu pasti, namun menjadi orang tua bijak dan dewasa itu pilihan!

Pembaca yang budiman! Setiap kita tahu bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan anak-anak dan generasi baru sebagai pelanjut kehidupan di muka bumi. Sebagaimana orang tua kita yang melahirkan, mendidik dan membesarkan kita dengan segala macam kerepotan yang menyertainya. Semua itu adalah konsekwensi yang harus diperankan sebagai orang tua, dan kita tentu tidak ingin gagal menjalankan fungsi dan peran tersebut sebagaimana banyak terjadi pada banyak orang tua saat ini.

Adalah lumrah bila sepasang suami istri berkeinginan memiliki anak keturunan. Mereka yang telah lama menikah dan belum dikaruniai momongan maka berbagai macam cara dilakukan; memeriksakan diri ke dokter, melakukan terapi medis atau alternative. Keinginan tersebut adalah fitrah dan sangat manusiawi. Dan ketika sang anak yang dinantikan lahir, maka lengkap sudah kehidupan dan kebahagiaan mereka sebagai orang tua. Sama persis ketika seseorang berusaha dan bekerja keras, berhasil mengumpulkan harta dari usaha yang dilakukannya, maka ada kebahagiaan dan kepuasan yang menyertai.

Karena itu, dalam salah satu firman-Nya, Allah menempatkan harta dan anak pada posisi yang sama; keduanya adalah perhiasan dunia. “Harta dan anak anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal amalan yang sholih adalah lebih baik pahalanya disisi Robbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan" (Al Kahfi : 46)

Imam Syinqithi menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut sebagai peringatan bagi manusia agar senantiasa beramal dengan sesuatu yang bermanfaaat bagi mereka di akhirat, di sisi Allah berupa amalan yang sholih lagi kekal dan tidak dibuat lalai oleh perhiasan kehidupan dunia berupa anak-anak dan harta, dimana keduanya adalah fitnah (ujian) bagi pemiliknya, yang bisa mengantarkannya untuk mendapatkan ridho dan syurga Allah Azza wa Jalla. Atau sebaliknya, keduanya menjadi penyebab yang membuatnya menuai murka Ilahi. Semua itu berpulang kepada manusia yang diberi amanah tersebut apakah ia mampu menjaganya dengan baik, atau justru lalai dan gagal sebagai pemegang amanah.

 

Tidak mudah menjadi orang tua yang baik, tapi siapa saja yang punya komitmen untuk menjadi ayah dan ibu yang baik, saya yakin ia mampu menjadi apa yang diinginkannya. Maka peran penting bagi sang orang tua adalah menanamkan nilai-nilai agama, memberikan pendidikan yang baik, menampakkan keteladanan dan akhlak terpuji pada diri anak-anak sebagai bekal dalam kehidupan mereka. Kesemua itu menjadi penting yang tidak hanya meneguhkan eksistensi diri mereka sebagai manusia, tapi juga sebagai pembeda antara dirinya sebagai manusia dengan binatang ternak.

Karena itu seorang penyair berkata:

Eksistensi seorang manusia bila aklak baik lekat pada dirinya

Bila akhlak itu lenyap, maka ia pun dianggap tiada

 

Secara umum kita melihat bahwa setiap orang tua berperan secara biologis bagi anak-anaknya;  melahirkan, memberi makan dan minum, memenuhi kebutuhan papan dan sandang serta menjaga dan melindungi mereka dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwanya. Namun kita juga melihat bahwa peran dan fungsi tersebut ternyata ditunaikan dengan baik oleh binatang ternak, dan disinilah letak kesamaan itu. Bahkan terkadang binatang jauh lebih sukses daripada manusia. Mengapa demikian? Karena kita tidak pernah menyaksikan seekor sapi berprilaku harimau, atau kambing berprilaku bak srigala? Masing berperan sebagai kodratnya.

 

Bagaimana dengan manusia? Sering kita mendengar seseorang dianggap binatang buas, bak harimau, singa atau srigala karena menyerang, merampok, membunuh bahkan memutilasi sesamanya. Na'udzu billah! Begitu sangat mudahnya di antara kita memangsa dan membunuh saudaranya dengan kejam tanpa belas kasih sedikit pun yang kesemuanya itu hanya dapat disamakan dengan prilaku binatang buas! Dan setiap hari kita menyaksikan dan mendengar prilaku seperti ini terjadi di sekitar kita.

 

Lalu dari mana prilaku binatang buas bisa melekat pada diri seseorang? Tentu banyak faktor terutama lingkungan, kawan pergaulan dan lainnya. Namun faktor terpenting itu adalah ketika orang tua hanya berperan secara biologis di tengah keluarga dan anak-anaknya, tanpa disertai dengan pewarisan nilai-nilai kebaikan, pendidikan yang baik, penanaman nilai-nilai agama dan keteladanan di tengah mereka.

 

Faktor lingkungan dan pengaruh kawan pergaulan tidak bisa dihindari oleh setiap anak. Namun ketika ia menemukan di tengah keluarganya ayah, ibu dan orang tua yang shaleh, teladan yang senantiasa mengajarkan padanya nilai-nilai agama dan kebaikan, tempat curhat dan berbagi, maka itu menjadi tameng baginya dari berbagai pengaruh buruk yang bisa mempengaruhi dan mencederai kepribadiannya. Dan ketika yang lahir di tengah keluarga kita adalah anak-anak yang baik dan sholeh, maka itu adalah salah satu warisan yang akan senantiasa mengalirkan pahala kebaikan di sisi Allah Ta'ala walau kita telah kembali kepada-Nya. Inilah yang disabdakan Nabi saw., bahwa ketika anak Adam telah mati maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga perkara, satu di antaranya adalah anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.

 

Memang tidak mudah menjadi orang tua yang baik dengan berbagai kerepotan dan kesibukan yang menyertai peran tersebut. Tapi tidakkah kita bahagia, saat mendapati wajah anak-anak dan keturunan kita yang senantiasa basah dengan air wudhu, menebar kebaikan di tengah manusia, atau ketika menengadahkan tangan kehadirat Ilahi Robbi seraya berkata, "Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangi dan kasihi mereka sebagaimana mereka telah mendidik aku dan menyayangi aku hingga dewasa."

 

NB: Terima kasih khusus buat Pa Budiman Hakim, tulisan Om Bud menjadi inspirasi tulisan ini!

UK, 2.11.2009

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun