Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Malaysia, Mau Jadi Kawan atau Lawan?

28 Agustus 2010   18:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_242381" align="alignleft" width="300" caption="copastuntas.blogspot.com"][/caption]

Hubungan Indonesia-Malaysia kembali memanas. Pemicunya sudah kita ketahui bersama. Tapi intinya tetap masalah perbatasan kedua wilayah yang sejak dahulu selalu menjadi bahan sengketa dan perselisihan, hingga memunculkan demonstrasi dan pembakaran bendera Malaysia. Bukan itu saja. Sejumlah demonstran melempari Kedubes Malaysia dengan tinja. Walau sang demonstran berhasil ditahan, kejadian itu tak urung menyulut amarah Menlu Malaysia, Datuk Seri Anifah, yang mewanti-wanti Indonesia agar berhati-hati sebelum Malaysia kehilangan kesabaran. Ckckckckck.......

Masalah perbatasan memang yang sangat sensitif karena terkait wilayah kedaulatan sebuah negara. Dan setiap negara tentu tidak rela wilayah mereka direbut negara lain walau sejengkal pun. Kita tentu ingat perebutan kepulauan Malvinas hingga pecah perang antara Inggris dan Argentina pada 1982. Syukurlah bahwa lepasnya Sipadan-Ligitan ke tangan Malaysia, atau lepasnya Timor-Timur sebagai negara berdaulat tidak berlanjut dengan aksi militer. Entahlah, apakah ini harus disyukuri atau disesali.......

Di antara negara-negara Asean yang paling sering bergaduh, tak lain dan tak bukan adalah Indonesia vs Malaysia. Walau kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim, satu rumpun, dan acap menyapa dengan panggilan sebagai kakak-adik, semua itu tak menghalangi munculnya kegaduhan dan perselisihan kedua belah pihak. Entah masalah TKI, illegal loging, klaim budaya dan tentu saja masalah perbatasan. Hingga kini kita masih tetap bersyukur (ini patus disyukuri) karena berbagai kegaduhan tersebut tidak menimbulkan perang terbuka sejak konfrontasi Indonesia-Malaysia di era Soekarno.

Masalah utama yang memang mendesak untuk diselesaikan adalah tapal batas kedua negara, karena pada titik inilah perselisihan itu sering  muncul, dan dikhawatirkan menjadi bara yang dapat meletupkan api konflik terbesar kedua negara. Karena itu dibutuhkan koordinasi berbagai pihak dan waktu yang mungkin tidak singkat untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi dan penguatan hubungan bilateral. Demikian pula pada negara Asean lainnya yang memiliki titik singgung pada masalah ini. Karena sungguh tak elok bila ada negara Asean yang kemudian saling perang karena masalah perbatasan. Apalagi Indonesia-Malaysia yang memiliki banyak kesamaan ternyata harus menyelesaikan masalah mereka di medan perang. Apa kata dunia???

Hal lain yang perlu saya sampaikan disini adalah, bahwa sebagai negara tetangga yang lebih makmur dan sejahtera serta tidak korup seperti Indonesia, Malaysia hendaknya jangan terlalu jumawa dengan segala kelebihan itu. Yang kemudian menghina-dinakan, melecehkan atau bahkan membunuh TKI yang bekerja disana. Walau kalian punya kapal perusak dan kami hanya punya kapal rusak, janganlah terlalu angkuh sehingga tak sabar lagi (seakan) ingin berkonfrontasi dengan Indonesia. Komentar penuh amarah seperti itu tidaklah tepat dilontarkan seorang Menlu yang seharusnya mendinginkan suasana yang panas.

Mengapa rakyat Indonesia marah atas semua itu sementara rakyat Malaysia tenang-tenang saja? Karena berbagai masalah yang terjadi diketahui dengan sangat baik oleh seluruh rakyat Indonesia melalui berbagai media; cetak dan televisi. Sementara media Malaysia berada dibawah pengawasan dan kendali pemerintah, sehingga tidak mungkin mengekspos masalah seperti ini menjadi santapan sehari-hari masyarakat Malaysia? Itulah bedanya.

Sebagai negara tetangga, satu rumpun dengan penduduk mayoritas Muslim, berkawan dan bersahabat jauh lebih baik daripada berselisih dan bermusuhan. Maka dalam perkawanan dan persahabatan itu ada etika dan tata kramanya. Bila ada kesalahan yang terjadi, etikanya adalah meminta maaf dan mengakui kesalahan. Ataukah kita sudah kehilangan etika sehingga meminta maaf pun amat sangat berat?

Utan Kayu, 28 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun