[caption id="attachment_50966" align="alignleft" width="172" caption="swaramuslim.net"][/caption]
Sejak beberapa tahun terakhir muncul sebuah pemikiran yang menganggap bahwa semua agama itu sama. Dan kini pemikiran tersebut telah menjelma menjadi paham dan gerakan yang secara terus menerus disosialisasi di tengah masyarakat melalaui berbagai media, cetak dan elektonik, forum diskusi, penerbitan buku, dan bahkan merambah hingga memasuki rumah sehat Blog Kompasiana. Gerakan pemikiran yang kini mewujud menjadi isme itu adalah paham pluralisme beragama. Sebuah gerakan yang berusaha memasuki ruang pikiran kita, khususnya kaum Muslimin, bahwa semua agama yang ada di muka bumi ini pada dasarnya adalah sama, bermuara pada satu tujuan yang sama dan akan memasuki syurga atau neraka sebagai balasan atas apa yang telah dilakukan oleh setiap pemeluk agama tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh tentang gerakan pemikiran ini, ada baiknya bila kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi; Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut ke 6 agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam yang berjumlah sekitar 88%. Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal; suku, budaya dan agama hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, merekat dengan baik dibawah simbol Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu factor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini.
Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan factor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa. Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekat berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati bersama. Apalagi dalam piagam Madinah dengan jelas mengakomodir pluralitas agama. Kalau pun akhirnya muncul konflik, maka saya yakin bahwa bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya; ekonomi, pendidikan, kesenjangan social dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta.
Di Barat sendiri berkembang dua aliran pluralisme agama. Pertama, paham dengan program teologi global (Global Theologi) yang motif terpentingnya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi, saat dimana agama dipandang sebagai kendala bagi program globalisasi. Kedua, paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions), yang menolak arus moderenisasi dan globalisasi yang menanggalkan agama sebagai sebuah anutan. Penganut paham ini tetap berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama tersebut seraya berpandangan bahwa semua agama mempunyai dua hakikat; yaitu eksoteris dan esoteris. Eksoteris adalah hakikat lahir, dimana semua agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan pertentangannya tadi bertemu.
Bagaimana dengan di Indonesia? Ternyata paham ini mendapatkan tempat dan lahan yang subur untuk bertumbuh. Abdurrahman Wahid (alm), Jalaluddin Rahmat yang akrab disapa Kang Jalal serta Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sejumlah tokoh dan institusi yang telah lama mengusung paham ini. Bahkan saat perayaan ulang tahun Gus Dur yang ke 65 pada Kamis, (4/8/2005), terdengar pekikan “Hidup Pluralisme” sebagai bentuk penolakan terhadap fatwa MUI yang pada 29 Juli 2005 yang memfatwakan haram terhadap paham pluralisme agama.
Namun yang agak berbeda karena paham ini justru ditolak oleh sejumlah tokoh Kristen semisal Frans Magnis Suseno yang mengatakan, “Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama. Toleransi.yang sebenarnya adalah menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan menghormati penuh identitas masing-masing yang tidak sama," Jadi, intinya terletak pada toleransi kita terhadap pemeluk agama lain, menghormati keyakinan dan ideology yang mereka anut serta pemahaman mereka tentang syurga dan neraka. Biarlah mereka percaya dan meyakini bahwa mereka pun akan masuk syurga. Walau kita sebagai Muslim memiliki keyakinan berbeda terhadap golongan dan orang-orang yang akan masuk syurga.
Adapun penganut paham pluralisme di Indonesia kerap mengangkat firman Allah Ta’ala yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 62 dan mengklaim ayat ini sebagai ‘ayat pluralis’ serta menggunakannya untuk tujuan legitimasi paham tersebut. Menurut Kang Jalal yang mengutip Rasyid Ridha, bahwa kaum Yahudi dan Kristen akan dapat meraih keselamatan meskipun tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw. Mereka hanya disyaratkan beriman kepada Allah, iman kepada hari pembalasan, dan beramal saleh – tanpa wajib beriman kepada kenabian Muhammad saw.
Pendapat ini tentu saja berbeda dengan tafsir surat al-Baqarah: 62 dan ayat-ayat lain yang terkait dengan ayat tersebut sebagai penjelas. Pengusung gerakan ini hanya menyertakan tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha tanpa menyertakan tafsir lain sebagai komparasi untuk mendapatkan tafsiran yang lebih benar dan shahih. Walau pada halaman lain tafsir tersebut, syeikh Rasyid Ridha menulis 5 syarat khusus golongan ahli kitab yang masuk syurga sebagai kesimpulan dari tafsiran beliau atas surat Ali Imran: 199. Dengan demikian, apa yang dilakukan Jalaluddin Rahmat dan Abdul Aziz Sachedina adalah manipulasi terhadap surat al-Baqarah: 62, dan coba digemakan melalui berbagai media tanpa menggunakan metodologi tafsir yang benar serta referensi kitab tafsir yang selama ini dijadikan rujukan oleh kaum muslimin.
Para pengusung paham pluralisme agama dikenal pandai mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Memilih dan memilah ayat-ayat yang mereka anggap sejalan dengan paham tersebut. Sehingga bila kita tidak hati-hati dan waspada, maka bualan tersebut akan membius dan menjebak kita untuk memberikan dukungan dan apresiasi positif. Apalagi yang menyampaikannya memiliki gelar akademik yang tinggi, tokoh terkenal dan lihai mengutip ayat-ayat al-Qur’an. Namun jangan salah, bahwa apa yang mereka tawarkan, seperti dikatakan Dr. Adian Husaini, bak ‘menawarkan minyak babi cap onta’. Dikemas dengan cara sangat menarik, diberi label cap onta atau cap sapi padahal isinya adalah minyak babi!
Wallahu a’lam bish Showab!
Frans Magnis Suseno tolak Pluralisme dapat dibaca disini
Catatan Adian Husaini tentang pluralisme dapat dibaca disini
Catatan Dwi Budiman tentang pluralisme dapat dibaca disini
Syarif Ridwan
Utan Kayu, 23.01.1431H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H