[caption id="attachment_33607" align="alignleft" width="225" caption="Yang penting halal dan nikmat"][/caption]
Masih pada hari Kamis kemarin. Disela-sela menunggu antrian pemeriksaan gula darah, saya meninggalkan kerumunan para peserta dan mendatangi seorang penjual es yang nongkrong tidak jauh dari lokasi acara. Tenggorokan yang kering sedari tadi membuatku tidak betah berlama-lama berada di antara kerumunan para pengantri yang didominasi ibu-ibu dan nenek-nenek. Jadi ingat nenekku di kampung yang kini berusia 80tahun-an.
Pa Casum, itulah nama penjual es lapis tersebut. Tinggal bersama istri dan dua anaknya di Kelurahan Pisangan Baru, Matraman, tidak jauh dari Puskesmas Brombeg. Sudah empat tahun lamanya Pa Casum yang asal Cirebon dan menikah dengan orang Betawi ini berjualan es kue lapis. Ia meninggalkan rumahnya pagi hari dan kembali menjelang sore, atau ketika dagangannya habis terjual.
“Setiap hari es kue lapisnya habis, ya pa?”
“Ya, alhamdulillah. Biasanya jam 3 sore sudah habis, yang penting jualan di tempat yang rame.”
“Kalau tidak habis, dihabisin di rumah dong, pa!”
“Iya mas. Kue lapis ini hanya tahan sehari saja. Jadi kalo tidak habis, ya dihabiskan di rumah. (mungkin juga dibagi ke tetangganya)
“Kalau habis, dapat berapa, pa”.
“Bisa dapat sampai 120 ribu, mas, modalnya 60 ribu.” Jawab pa Casum sambil menyiapkan pesanan es kue lapis seharga 2000 rupiah per-mangkok.
“Woww, enak bener! Kombinasi kue lapis, gula aren, buah nangka, sedikit santan dan es membuat minuman ala pa Casum sungguh nikmat. Beberapa orang anak pun berdatangan membeli dagangan pa Casum. Seorang ibu yang berlalu tak jauh dari kami juga tersenyum, sepertinya ingin beli, mungkin malu hati karena ada saya disitu, atau karena, saya juga senyum padanya. Hehehe....
“Kalau esnya beli yang balok (Kalo di makassar disebut es balok karena ukurannyang yang besar) atau buatan sendiri, pa?”
“Ini es kulkas mas, buatan sendiri.”
“Bagus, pa. Sebaiknya es buatan sendiri. Karena saya pernah dengar es balok itu dibuat dari air yang tidak dimasak, malah air sungai yang bisa membuat orang sakit perut”. Kataku melanjutkan. Dan Pa Casum hanya manggut-manggut mendengar ocehanku.
“Wah, esnya enak banget! Tambah satu mangkok lagi, pa”. kataku jujur, semoga ia juga gembira
[caption id="attachment_33610" align="alignright" width="225" caption="Es kue lapisnya maknyus, bro!"][/caption]
dengan pujianku. Dua mangkok es kue lapis pa Casum saya habiskan disela antrian menunggu giliran dipanggil panitia PPDB.
Begitulah perkenalanku dengan pa Casum bermula. Seorang pedagang es kue lapis berusia sekitar 55 tahun, kurus berkulit hitam dengan penghasilan bersih 60 ribu rupiah setiap hari. Memang masih jauh dari nilai yang diharapkan bila diukur dengan tingkat kebutuhan keluarganya dengan dua orang anak dan seorang istri. Namun yang meringankan karena kedua anak pa Casum sudah mulai mandiri, sehingga nilai sudah lumayan bagi pa Casum dengan profesi pedagang es keliling.
Apa yang dilakukan pa Casum seharusnya bisa dilakukan banyak orang yang saat ini masih menganggur karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah meraih gelar sarjana. Atau mereka yang hidup sebagai pengemis dengan mengharap belas kasih orang lain, atau karena factor ekonomi akhirnya melacurkan diri atau mencuri dan merampok. Ternyata banyak cara yang bisa dilakukan bagi orang-orang yang tidak mau mengalah dari situasi yang menghimpitnya. Yang penting halal dan juga enak dan nikmat bagi orang lain, insya Allah berkah. Itu sebuah prinsip yang dipegang oleh manusia semacam pa Casum, dan itu layak ditiru.
Utan Kayu, 5.12.09
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H