Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisi Kutu Loncat, Sampai Kapan?

20 Oktober 2009   06:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu yang menarik dikajii dalam sejarah Parpol Indonesia, khususnya pasca kejatuhan rezim Orde Baru adalah kiprah politisi kutu loncat, apakah mendirikan partai baru atau lompat pagar ke partai lain. Dan sampai saat ini fenomena tersebut masih terus terjadi dan menjadi bahan berita yang selalu menarik; siapa, mengapa dan bagaimana seorang politisi 'mengakhiri' hidupnya di partai A untuk memulai hidup baru di partai B. Begitu mudahnya ia ganti baju, bukan satu dua kali, bahkan ada yang berkali-kali. Kita tidak tahu, apakah fenomena ini pada saatnya nanti akan berakhir atau terus berlanjut.

Mengapa Jadi Kutu Loncat?

Politik tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan. Ketika sekelompok orang bersepakat mendirikan sebuah partai politik, maka kesepakatan itu bertemu pada satu titik; merengkuh kekuasaan. Demikian pula ketika seseorang bergabung dalam sebuah gerbong politik, niscaya ia pun memiliki harapan dan keinginan berada di atas tampuk kekuasaan; legislatif atau eksekutif. Betapa kekuasaan itu sangat menggoda dan sanggup membius siapa saja.

Yang jadi pertanyaan adalah, apakah kekuasaan itu sebagai tujuan akhir ataukah hanya sebagai sarana untuk menghadirkan maslahat dan kebaikan bagi rakyat? Dinilah terjadi bias terhadap pemaknaan tentang kekuasaan yang lebih sering diposisikan sebagai tujuan utama untuk mendapatkan popularitas dab berbagai fasilitas hidup yang menggiurkan, membuat seorang politisi akhirnya terjerumus dalam kasus penyalagunaan jabatan, korupsi hingga perselingkuhan. Realitas ini pula yang membuat makna politik itu menjadi kotot belaka. Demikian pula para politisi yang oleh masyarakat identik dengan penipu, koruptor, hidup mewah, selingkuh dan makna buruk lainnya. Padahal masih sangat banyak politisi kita yang tidak lekat dengan predikat buruk tersebut, bukan?

Salah satu yang melatari mengapa politis tersebut begitu mudahnya ganti baju adalah karena faktor kepentingan pribadi, apalagi bila ada tawaran menggiurkan dari partai lain. Ketika peluang mendapatkan kekuasaan di partai A sangat kecil, mengapa tidak mencoba di partai B. Ketika gagal di partai B, mengapa tidak mencoba lagi di partai Cdan seterusnya. Afiliasi, loyalitas dan upaya memperjuangkan nasib rakyat agar menjadi lebih baik bukan sesuatu yang penting bagi politisi seperti ini. Yang jauh lebih penting adalah popularitas dan pemenuhan hajat pribadi melalui kekuasaan yang berada dalam genggaman.

Faktor lain yang membuat seorang politisi bak kutu loncat adalah, ketika muncul konflik internal pada partai tersebut, merasa tidak diakomodasi, kecewa terhadap struktur atau personal dan beberapa sebab lain. Namun alasan-alasan ini sepertinya hanya 'bumbu' agar sang politisi mendapatkan pemakluman atas pembelotan yang ia lakukan. Karena kita tahu bahwa konflik internal dan kekecewaan tidak bisa dihindari apalagi saat berada dalam sebuah institusi apalagi partai politik, tinggal bagaimana mengelola konflik tersebut. Bila loyalitas kuat disertai komitmen untuk  memperjuangkan visi-misi dan tujuan partai, saya kira konflik apapun selalu menemukan penyelesaian tanpa harus meninggalkan partai tersebut.

Lemahnya Sistem Kaderisasi

Salah satu kelemahan mendasar sebagian besar partai politik adalah sistem kaderisasi yang berakibat pada lemahnya afiliasi dan loyalitas kader terhadap partai tempatnya bernaung. Kelemahan ini bisa jadi bersumber pada ketiadaan formula yang tepat yang dapat digunakan dalam proses kaderisasi. Mulai dari sistem penjaringan, materi-materi kaderisasi, penjenjangan dan berbagai hal terkait dengan formula kaderisasi tersebut.

Hal ini pun sesungguhnya telah diakui oleh sejumlah elit partai. Bahkan Yuddy Chrisnandi, salah satu kader muda Golkar yang sangat menonjol pernah membuat sebuah tulisan berjudul “Apakah Golkar masih bisa bertahan pada 2014? Ataukah ditinggalkan konstituennya?, dan menulis5 tantangan internal Golkar yang salah satu diantaranya adalah: mandeknya sistem pengkaderan dan regenerasi. Tulisan ini menurut saya bisa mewakili kondisi umum hampir seluruh partai yang setelah pemilu ditinggalkan kadernya, dan merekrut kader baru menjelang pemilu berikutnya. Itupun bila partai tersebut tidak gulung tikar alias bubar. Karena itu pula salah satu visi Aburizal Bakri, Ketua Partai Golkar yang baru saja terpilih adalah upaya memperbaiki sistim kaderisasi agar lahir kader baru loyalis dan militan.

Selain kelemahan pada sistem kaderisasi, sebagian besar partai juga tidak memiliki pola rekrutmen yang bagus. Landasan rekrutmen hanya bertumpu pada, apakah sosok yang direkrut itu memiliki modal memadai, populer dan mampu menarik massa dalam jumlah besar. Karena itu pula, pada Pemilu 2009 ini bermunculan politisi dari kalangan artis, yang dengan popularitasnya diharapkan mampu mendongkrak perolehan suara partai yang merekrutnya. Apakah kemudian sang artis memiliki integritas, kapabilitas dan kompetensi yang mumpuni, itu urusan belakangan!

Betapapun, fenomena politisi kutu loncat telah mewarnai perpolitikan tanah air, menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sebuah partai mencari eksistensi dirinya. Yang kita harapkan ke depan adalah ketika sang politisi mengakhiri petualangannya dan berlabuh pada sebuah partai memiliki reputasi yang baik dalam sistim kaderisasi, visi-misi, tujuan, platform dan tentu saja mengedepankan kemaslahatan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan kelompok.

Semoga politisi kutu loncat yang pada Pemilu 2009 tahun ini khususnya yang bernasib mujur meraih kursi legislatif, tidak tidak lagi serupa dengan 'kutu loncat' loncat kesana kemari sembari menciptakan kerusakan dimana-mana. Namun menjadi lebah yang memberi manfaat dan kebaikan bagi manusia. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun