Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Kembali Pernyataan Bung Andi: Belum Waktunya Orang Bugis Jadi Presiden!

16 Agustus 2009   00:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:49 4032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Walau Pilpres 2009 telah berlalu dan hasilnya telah kita ketahui bersama, namun berbagai kontroversi yang menyertainya belum lekang dari ingatan kita. Salah satu yang masih lekat benar dalam benak kita adalah pernyataan kontroversial bung Andi Mallarangeng saat menyampaikan orasinya dihadapan seluruh peserta kampanye yang berlangsung di GOR Mattoanging, Makassar, Rabu (1/7). Pernyataan yang menyulut amarah hampir seluruh masyarakat Sul-sel itu adalah kalimat, bahwa belum saatnya orang Bugis jadi presiden.

Tulisan ini tidak bermaksud membuka kembali luka hati masyarakat sul-sel khususnya orang bugis yang menghendaki Jusuf Kalla tampil sebagai presiden. Tapi tulisan ini mencoba membaca latar munculnya pernyataan tersebut dari seorang bung Andi yang saat itu menjabat sebagai Jubir Presiden, dan pelibatan Fox Indonesia yang dikomandani oleh saudara bung Andi, Rizal Mallarangeng sebagai Tim Sukses SBY.

Kalau pernyataan bung Andi ketika itu murni bersumber dari data valid yang menjelaskan ketidakemampuan orang sul-sel dalam memimpin diberbagai bidang, lembaga atau institusi, maka pernyataan itu mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi ternyata, dalam perjalanan sejarah bangsa ini, masyarakat sul-sel khususnya suku Bugis-Makassar berhasil mencatatkan nama mereka dengan tinta emas sebagai putra-putra daerah dengan kontribusi yang melampaui batas wilayah territorial.

Setiap kita tentu kenal siapa Syekh Yusuf, yang bergelar Tuanta Salamaka dari Gowa. Beliau dikenal hingga ke benua Afrika sebagai sosok ulama penyebar Islam. Kita juga kenal Jenderal M. Yusuf dengan segala kontribusinya untuk negeri ini saat menjabat sebagai Menghankam/Panglima ABRI 1978-1983. Beliau adalah seorang Bugis-Bone namun sukses sebagai pemimpin militer yang mencintai dan dicintai prajurit-prajuritnya. Dan Prof. DR. BJ. Habibie yang berasal dari suku Bugis Pare-pare, adalah satu dari sekian banyak putra daerah asal Sul-sel yang jasa dan kontribusinya tidak hanya bagi bangsa ini, tapi juga bagi dunia. Dan beliau pun jadi warga kehormatan Negara Jerman.

Dan masih sangat banyak nama tokoh asal Sul-sel yang telah berjasa bagi negeri ini, bukan hanya untuk daerah dan tanah kelahirannya saja tapi untuk bangsa dan tanah airnya. Dengan adanya fakta tersebut, menjadi sangat tidak relevan bila akhirnya bung Andi ketika itu menyatakan bahwa belum saatnya orang bugis, atau orang Sul-sel jadi presiden. Apalagi Prof. BJ. Habibie telah membuktikanya dan dianggap sukses walau pemerintahannya sangat singkat. Dengan sendirinya pernyataan bung Andi terbantahkan bila didasarkan pada kemampuan, kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki orang Sul-sel dalam memimpin.

Bila demikian, mari kita melihat posisi bung Andi ketika itu:

Pertama: sebagai Jubir Presiden SBY

Kedua: salah satu dari Trio Mallarangeng yang menjadi tim Sukses SBY

Ketiga: pelibatan fOX Indonesia yang dikomandani Rizal Mallarangeng sebagai konsultan politik, yang konon menerima bayaran sekitar Rp 800 miliar untuk bertindak sebagai 'even organizer' tim SBY-Boediono

Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan, bahwa minimal ke 3 faktor inilah yang kemungkinan besar melatari munculnya pernyataan bung Andi, bersumber dari cara menilai yang bertentangan dengan fakta sebenarnya. Yaitu penilaian berdasar pada kemampuan, kompetensi dan kapabilitas. Sehingga kalimat itu pun dianggap merendahkan martabat orang bugis khususnya. Dan wajar saja bila menyulut amarah mereka yang tidak hanya di kalangan grass root, tapi juga tokoh-tokoh masyarakat Sul-sel. Karena kita tentu ingin menghindari kalimat sepadan yang bisa muncul, "Sudah tidak waktunya bagi orang jawa jadi presiden." Kalimat yang bisa dikategorikan bernuansa SARA. Padahal masih sangat banyak bahan orasi yang bisa disampaikan bung Andi tanpa menyentuh wilayah yang sensitiveseperti itu.

Walau akhirnya pa JK tidak terpilih sebagai presiden, tetapi kita takkan meragukan kemampuannya, bahwa beliau sanggup menunaikan amanah tersebut dengan baik andai mayoritas rakyat Indonesia memilihnya untuk itu. Sekaligus menjadi pelajaran bagi kita semua untuk berfikir lebih arif dan bijak sebelum melontarkan sebuah pernyataan yang menjadi konsumsi masyarakat luas.  Agar kita dapat menghilangkan sekat-sekat primordialisme dan kesukuan dari tanah air kita. Merdeka!

Utan Kayu, 16.08.2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun