Mohon tunggu...
syarif ridwan
syarif ridwan Mohon Tunggu... Guru - Lahir di Kab. Maros, Sulawesi Selatan, tahun 1969. Usai menamatkan pendidikan di PonPes Darul Arqam Gombara, Makassar pada 1988. Menetap di Jakarta sejak tahun 88 hingga 2013. Kini menetap di Kab. Serang setelah tinggal di Kab. Tangerang hingga 2013.

Lahir di Makassar 1969. Pest. Darul Arqam 88, LIPIA 93. Kini menetap di Kab. Serang, setelah tinggal beberapa tahun lamanya di Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbah Surip; Kebahagiaan yang Terenggut

6 Agustus 2009   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:52 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepergiaan Mbah Surip yang begitu cepat dan tak terduga, tidak hanya menimbulkan kegemparan, tapi juga kesedihan mendalam yang dirasakan oleh keluarga, kawan dan orang dekatnya, serta para penggemarnya yang telah mengunduh lagu ciptaannya yang populer “Tak Gendong” sebagai nada sambung (RBT). Presiden SBY bahkan secara pribadi menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian Mbah Surip, walau –mungkin- pa SBY belum sekalipun bertemu dengannya. Dan inilah yang disesalkan banyak kalangan, karena pada waktu yang nyaris bersamaan terdapat dua musibah yang juga menelan korban meninggal dunia; tabrakan kereta api dan jatuhnya pesawat Merpati

Apa gerangan yang membuat banyak kalangan sedih dan berduka atas kepergian Mbah Surip, dan mungkin juga termasuk Anda? Itu karena kepergian si Mbah sekaligus merenggut kebahagiaan yang mereka rasakan selama ini melalui karya dan lagu-lagu ciptaannya.

Mari kita tengok, betapa banyak orang yang merasa senang, gembira dan bahagia ketika lagu lama ciptaan Mbah Surip akhirnya laris manis dan berhasil meraup milyaran rupiah hanya dari royalty nada sambung saja? Dan mereka yang merepresentasikan kegembiraan dan kebahagiaannya dengan senandung "tak gendong...kemana-mana...". Setidaknya ada empat kelompok -dan bisa ditambah- manusia yang paling berduka dengan kepergian Mbah Surip.

Ring satu, mereka adalah keluarga Mbah Surip yang selama ini mungkin hidup pas-pasan kemudian mendapatkan cipratan financial yang akhirnya mengubah situasi dan kondisi kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Ring kedua, adalah perusahaan yang memasarkan ring tone lagu Mbah Surip, serta manajer dan sponsor yang selama ini mengatur jadwal show si Mbah yang seakan tak ada habisnya. Sehingga mereka rela membeli rumah dan kendaraan roda empat buat si Mbah sebagai bagian dari kontrak 3 tahun. Sebagai harapan bahwa Mbah Surip masih akan laris manis dan jadi lumbung uang untuk beberapa tahun kedepan.

Ring ketiga, adalah kawan-kawan Mbah Surip dari kalangan seniman yang  kemudian mendapatkan energi baru untuk terus berkarya setelah lagu si Mbah akhirnya diterima masyarakat luas, atau kawan dekat yang juga mendapatkan cipratan dana kesetiakawanan sosial dari si Mbah.

Ring keempat, adalah para penikmat musik, cara ketawa, busana, rambut gimbal, kepribadian dan style Mbah Surip yang apa adanya. Mereka ini pun turut berduka atas kepergian si Mbah yang begitu tiba-tiba. Mereka tentu masih berharap si Mbah masih akan melahirkan karya-karya ajaib dan penampilan-penampilan berkesan lainnya.

Tapi bila kita jeli melihat, bahwa ternyata kebahagiaan Mbah Surip juga seakan terenggut saat namanya mulai menjulang dan kemudian ditanggap untuk tampil dimana-mana. Kebiasaan ngumpul dengan kawan lama, ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati secangkir kopi dan rokok kretek kesukaannya, menjalani hidup apa adanya, tiba-tiba saja tak bisa lagi dilakoninya. Semuanya serba diatur dan dikendalikan, bahkan terkesan dieksploitasi walau dibantah oleh pihak manajemen.  Padahal setiap kita tahu bahwa seperti itulah dunia artis, apalagi yang  mampu menjadi magnet dan mesin uang bagi banyak orang.

Dan  seperti itu penggalan terakhir dari episode kehidupan Mbah Surip. Hingga kesehatannya yang semakin menurun dan fisik yang kian renta tak mampu lagi menyanggah keinginannya –atau keinginan orang-orang sekelilingnya-, dan akhirnya jatuh menyerah dihadapan takdir Alla Yang Maha Kuasa. Ia pergi membawa harapan dan keinginannya menyaksikan seorang putrinya duduk bersanding di pelaminan.

Selamat jalan, Mbah. Semoga engkau bahagia disana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun