Pandemi yang kita alami sekarang ini memang memiliki seribu manfaat, selain dampak negatifnya yang mematikan yang banyak orang sudah mafhum. Pandemi bisa menjadi sarana bagi segolongan orang untuk mengeruk keuntungan. Bisnis obat-obatan, alat kesehatan, hingga proteksi menjadi beberapa sektor yang menerima limpahan manfaat dari pagebluk yang sudah berjalan lewat dua tahun ini.
Praktik digital, teknologi informasi, komunikasi via online dan bisnis-bisnis terkait dengan teknologi, menjadi area lain yang mendapatkan berkah dari wabah pada milenium ini. Satu hal lagi yang patut disyukuri adalah meningkatnya perhatian publik akan praktik bisnis yang lebih memperhatikan lingkungan sebagai akibat dari krisis kesehatan sebab wabah Covid-19.
Akan tetapi di atas semua itu, ada bisnis yang paling mampu memanfaatkan kondisi keterpurukan ini, yaitu bisnis kekuasaan. Kekuasaan dengan leluasa memonopoli keputusan dan kebijakan yang terkesan tanpa meminta restu publik, dengan bertameng pada kondisi darurat menanggulangi pandemi.
Kekuasaan memang memiliki sifat alami untuk selalu mempertahankan kekuasaannya. Di masa apapun pemilik kekuasaan selalu berupaya untuk itu. Tak terkecuali di masa pandemi. Bahkan bisa jadi pandemi dijadikan alat untuk menyiapkan pondasi untuk melanggengkan kekuasaan. Kondisi ini tentu saja menjadi ancaman bagi demokrasi.
Majalah 'Foreign Affairs' menulis artikel berjudul 'The World After The Pandemic' yang menampilkan tulisan Francis Fukuyama berjudul 'The Pandemic and The Political Order' menyimpulkan hal penting. Menurut penulisa buku laris ini, perbedaan capaian penanganan pandemi Covid-19 di berbagai negara dipengaruhi oleh tiga faktor utama, antara lain kapasitas negara (state capacity), kepercayaan sosial (social trust), dan kepemimpinan (leadership).
Artinya, negara dengan aparatur yang kompeten, pemerintahan yang suaranya didengar rakyat, dan kepemimpinan yang efektif akan mampu mengatasi persoalan pandemi dengan baik. Sebaliknya, negara dengan aparatur yang tak berfungsi (disfunctional apparatus), rakyat yang terpolarisasi, dan kepemimpinan yang lemah akan semakin memperburuk dampak pandemi.
Jika melihat standar di atas, beberapa kebijakan dan keputusan di Indonesia mungkin bisa menjadi diukur. Salah satunya soal rencana pembangunan Ibu Kota Negara Baru
Keputusan menerbitkan undang-undang terkait itu menuai kontroversi ketika prosesnya dilakukan cukup singkat, jika diukur dengan betapa krusialnya rencana itu. Rapat yang dilakukan di rumah rakyat dimulai pada Senin 17 Januari pukul 11.00. setelah enam jam, rapat itu diskors dan kembali dilanjutkan jam 07.00 malam. Setelah menjalani rapat hingga mencapai 03.00 dini hari, rancangan undang-undang krusial itu akhirnya disahkan.
Singkatnya, rapat maraton 16 jam tersebut memutuskan hal-hal penting terkait RUU IKN mulai dari nama Ibu Kota Nusantara, bentuk atau sistem pemerintahan, sistem pendanaan, hingga sumber pembiayaan.
Proses berikutnya lebih singkat dan menakjubkan lagi. Setelah keputusan rapat tersebut, hasilnya kemudian RUU IKN dibawa ke Paripurna pada hari yang sama. Ketua DPR, Puan Maharani yang memimpin menolak intrupsi saat rapat paripurna pengesahan RUU IKN. Meskipun ada interupsi dari anggota dewan namun proses pengesahan terus berlanjut.
Hal yang mengherankan lagi, para pembuat aturan, alih-alih fokus bicara penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi malah mengurusi infrastruktur IKN di wilayah yang sebenarnya tidak mendukung untuk menjadi Ibukota Baru. Masalah lain padahal sudah jelas menghadang, yaitu masalah pendanaan. Untuk menangani Covid-19 saja, APBN sudah babak belur, kini APBN dibebani juga dengan pembangunan IKN.