Sektor infrastruktur sepertinya sudah menjadi label yang melekat pada pemerintahan saat ini. Setelah digenjot di dua tahun awal sejak Presiden Joko Widodo berkantor di Istana Negara, tahun ini pemerintah meneruskan kerjanya mendorong beragam proyek infrastruktur.
Proyek pemerintah pada 2017 tercatat berjumlah 245 proyek yang dituangkan dalam Proyek Strategis Nasional. Dana pendukung untuk mewujudkan program massal itu pun terus mengalir. Jika pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari total APBN, angkanya kemudian dilipatduakan pada 2017 menjadi 18,6 persen.
Memasuki tahun ketiga pemerintahan, sektor itu mulai menjadi ancaman bagi perekonomian. Bukan untuk mengatakan bahwa ini adalah kebijakan yang salah, hanya saja kebijakan yang membutuhkan dana yang sangat besar itu sayangnya tidak bisa dipenuhi oleh kantong sendiri. Walhasil, utang dan juga rekayasa anggaran menjadi jurus yang dipakai oleh pemerintah. Strategi itu, meski begitu, tidak steril dari risiko.
Satu persatu risiko dari proyek-proyek infrastruktur yang bertebaran di Tanah Air mulai muncul. Sebut saja soal minimnya bahan baku lokal yang dipakai ketika data pusat statistik pemerintah membuktikan bahwa banyak dari yang dipakai proyek itu justru dari luar negeri alias impor. Atau soal dominasi BUMN, di mana perusahaan swasta yang bergerak di sektor konstruksi mulai berteriak karena tidak kebagian proyek besar tersebut.
Kini, ujung dari semua itu tergambar dari risiko pada anggaran pemerintah yang berada di tepi jurang defisit yang sudah digariskan undang-undang sebesar 3 persen. bersamaan dengan itu muncul kekhawatiran mengenai dampak keagresifan Jokowi dalam sektor infrastruktur.
Nafsu besar pemerintah mendorong infrastruktur saat ini telah menyebabkan --yang dalam teori ekonomi disebut--overinvestment . Hal tersebut mengacu pada kegiatan investasi yang selalu lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank. Bahkan dalam hal infrastruktur ini pemerintah sangat mengandalkan utang.
Total utang dalam 3 tahun masa pemerintah Jokowi pun meroket. Per September 2017, jumlah total utang pemerintah mencapai Rp 3.866,45 triliun. Jika dilihat sejak 2014 yang sebesar Rp 2.604,93 triliun maka jumlah utang di masa pemerintahan Jokowi naik Rp 1.261,52 triliun. Artinya setiap tahun Jokowi rata-rata bikin utang baru Rp400 triliun, alias setiap hari lebih dari Rp1 triliun Jokowi berutang.
 Hal ini menyisakan tanda tanya besar, mampukah Pemerintah Indonesia bisa melunasinya? Dari catatan Kementerian Keuangan hingga 2045 kita masih harus melunasi utang jatuh tempo. Belum sempat mendapatkan jawabannya, negara ini juga harus berhadapan dengan risiko baru. Jika terlalu mengandalkan utang yang belakangan sangat masif berasal dari China, maka pembangunan infrastruktur punya konsekuensi politik di belakang hari. Indonesia bisa terancam menjadi atau dijadikan negara satelit dari China. Mengingat banyak kasus yang mengemuka soal hubungan bisnis dengan China sampai sekarang, kekhawatiran itu sangat beralasan. Minimal, seperti yang terjadi pada negara-negara yang dipinjami China, aset-aset atau perusahaan-perusahaan negara RI bisa diambil alih jika tidak mampu membayar utang.
Untuk itu, Pemerintah, dengan ancaman yang ada, diminta untuk mengerem program yang dianggap terlalu ngebut dan dinilai mulai ugal-ugalan. Jika tidak, maka pemerintah dan juga bangsa ini akan menghadapi krisis atau minimal resesi ekonomi, apalagi tahun depan semua tenaga mulai dicurahkan untuk tahun politik. Proyek pembangunan yang perlu ditunda pemerintah, ialah infrastuktur yang dibangun menggunakan Anggaaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau melalui BUMN.
Akan tetapi tindakan mengerem investasi pun memiliki risikonya sendiri. Melakukan strategi itu, kata seorang ekonom, akan membuka peluang timbulnya resesi. Pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam beberapa periode adalah salah satu ciri resesi. Dalam hal penghentian beberapa proyek infrastruktur maka akibat yang paling cepat adalah daya beli yang memang sedang melemah akan makin turun, ujung-ujungnya bisa mengganjal pertumbuhan ekonomi yang memang mulai terasa stagnan.
Meski demikian, pemerintah tetap harus memilih kebijakan dari opsi-opsi yang sama-sama memiliki risiko. Namun satu yang pasti, sektor infrastruktur yang tadinya jadi andalan pemerintah kini mulai berubah menjadi ancaman.