Suatu ketika Emha Ainun Nadjib (EAN) ditanya dalam forum, mengapa Indonesia banyak terjadi bencana dan masalah sosial, dan seolah-olah Tuhan mengabaikan Indonesia? Dengan enteng, EAN menjawab yang pada intinya, sebaiknya kita bangsa Indonesia menjadi kafir semua saja. Supaya jelas, jangan setengah-setengah. Ngaku muslim tapi merusak, ngaku mukmin tapi selingkuh. Itu lebih menyakitkan. Kira-kira lebih sakit mana, diselingkuhi atau tidak dicintai?
Memahami sebuah wacana tentu setiap orang bisa melakukan. Namun kedalaman pemahaman orang dalam memahami sesuatu itu tergantung pada kapasitas masing-masing orang. Jawaban EAN di atas, jika ditelan mentah, maka itu bisa disebut mengajak orang menjadi kafir. Namun tentu tidak demikian. EAN jelas mengajukan tiga hal sekaligus dalam jawaban ringkasnya tersebut. Pertama, dia mengkritik bahwa umat islam atau orang indonesia pada umumnya karena memang umumnya adalah muslim menjalani hidup beragamanya tidak serius, alias setengah-setengah. Sikap pragmatis dan mencari selamat sendiri menjadi fenomena umum. Ini yang disebut sebagai sikap munafik. Kedua, EAN jelas menguatkan bahwa berislam itu harus kaffah, baik dari perilaku ibadah, sosial dan pola pikirnya. Jangan bersikap setengah-setengah, asalkan Islam menguntungkan kepentingan saja baru digunakan, jika demikian, maka tidak ada yang bisa diharapkan kecuali kehancuran.
Ketiga, EAN jelas tidak benar-benar menganjurkan anda dan kita semua untuk menjadi kafir, karena keduanya sama-sama buruk. Namun beliau hendak menjelaskan bahwa sikap munafik itu adalah sumber masalah yang pokok. Ia merupakan kejahatan terselubung, perselingkuhan yang kejam, dan konspirasi yang biadab. Kemunafikan itu seperti musuh dalam selimut, dan perbuatan menggunting dalam lipatan. Orang yang disangka kawan ternyata berhianat, padahal sudah terlanjur kita taruh kepercayaan. Pemimpin yang disangka akan mengayomi ternyata merampok, padahal sudah terlanjut diserahkan semua kekuasaan. Pasangan yang kita yakini setia dan kita dekap dengan cinta, ternyata justru menabur “syahwat” dimana-mana. Jika kita berhadapan kepada orang yang jelas tidak suka kepada kita, atau orang yang jelas tidak mendukung kita, maka sikap kita akan jelas lebih terkontrol dan berhati-hati sehingga hal-hal yang buruk bisa dicegah. Namun menghadapi kemunafikan sungguh kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berhati-hati dan mawas diri. Selebihnya serahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu, kualitas keburukan munafik lebih buruk dari sekedar kafir. Karena munafik itu berusaha menipu Tuhan, sedang kafir itu jelas mengakui keberadaan Tuhan, hanya memilih mengabaikan-Nya. Itulah mungkin mengapa Tuhan memberikan ancaman lebih dahsyat bagi kaum munafik daripada kaum kafir.
Gambaran di atas saya tampilkan untuk mengajak kepada kita semua untuk belajar menembus berbagai kenyataan dalam hidup yang kadang tidak mudah segera dipahami dan disikapi. Sehingga kita semakin mawas diri, tidak sembrono dan tergopoh-gopoh memberikan pernyataan.
Banyak fenomena dalam masyarakat yang kadang paradoksal, tidak jelas, dan cenderung absurd. Salah satu fenomena itu adalah maraknya pemakaian jilbab di kalangan kaum hawa. Sekilas tidak ada masalah dalam pemakaian jilbab tersebut, bahkan perlu disambut baik karena menunjukkan kesadaran berhijab oleh para muslimah. Namun ternyata fenomena berjilbab ini tidak bisa lepas dan seteril dari berbagai kepentingan. Industri dan agen kapital segera melirik kesadaran ummat ini. Maka bermunculanlah para trendsetter dalam berjilbab. Berbagai model jilbab didesain menyesuaikan trend fashion.
Jilbab yang semula hadir dari kesadaran keberagamaan, kini muncul dan ramai digemari sebagai sebuah kesadaran fashion. Maka sangat wajar dan lazim kita dengar komentar “kamu lebih cantik kalau pakai jilbab.” Betapa kesadaran materi lebih mudah ditangkap daripada substansi. Buah dari itu, inovasi mempercantik tampilan jilbab mengalami kemajuan pesat. Jilbab menjadi trend. Ditambah dengan munculnya industri sinetron religi yang menampilkan artis yang mendadak berjilbab dengan model tertentu yang segera menjadi model jilbab nasional. Semua bergerak begitu cepat. Jilbab menjadi sesuatu yang biasa kita lihat ketika sebelum tahun 90an kita sangat jarang bahkan tabu melihatnya. Bahkan di hampir semua instansi, jilbab sudah dipadukan menjadi seragam bagi perempuan muslim, meski ketika tidak bekerja, jilbab juga tidak dipakai, karena itu jilbab hanya sebatas seragam. Di sekolah dan kampus, jilbab hampir-hampir merata. Bahkan orang akan ramai teriak jika ternyata ada suatu instansi yang melarang perempuan-perempuan pegawainya untuk memakai jilbab. “Jilbab adalah hak kami!” teriak para aktifis pejuang HAM.
Fenomena di atas jelas disambut baik oleh banyak kalangan, baik kalangan perempuan sendiri, industri maupun kaum agamawan. Semua merasa bahwa itu adalah fenomena yang menggembirakan. Kaum perempuan merasa terfasilitasi, passion dalam berpenampilan semakin dapat terpenuhi. Pelaku industri jelas gembira atas adanya peluang yang basah ini. sementara kaum agamawan memandang bahwa ini adalah ujud keberhasilan dakwah yang berbuah kesadaran kaum hawa untuk berhijab. Mungkin awalnya bisa karena ikut-ikutan, namun harapan pada akhirnya benar-benar kesadaran bisa merasuk dalam jiwa mereka.
Namun, sambutan baik itu “dinodai” dengan perkembangan dalam pemakaian jilbab itu sendiri. Di tengah jilbab menjadi trend fashion anak muda dengan begitu banyak model dan kombinasi, jilbab digunakan sebatas aksesoris semata, sementara pakaian sebagai kombinasinya sangat ketat, tipis atau transparan. Wal hasil, tampak para perempuan ini berjilbab menutup kepala dan rambut, namun bagian tubuh lain justru terekspose sedemikian rupa. Muncullah istilah jilboobs. Gabungan dari istilah jilbab dan boobs (payudara dalam bahasa inggris). Jilboobs berarti berjilbab namun pakaian begitu ketat sehingga bagian dada dan lekuk lainnya jelas terlihat.
Jilboobs ini menjadi kontrofersi di berbagai kalangan. Terakhir MUI dikabarkan mengharamkan jilboobs. MUI tidak langsung menyatakan jilboobs adalah haram, namun MUI menyatakan bahwa menunjukkan bagian tubuh wanita sehingga lekukan tubuhnya tampak jelas meski berbalut busana tetap haram. Berdasarkan argumentasi ini, maka jelas bahwa jilboobs adalah tidak dibolehkan dalam Islam, alias haram. Namun, ada juga yang berpendapat beda. Mereka ini menilai bahawa meski jilboobs, harus diberikan apresiasi. Minimal mereka telah mau menggunakan jilbab. Jangan langsung diharamkan dan dilarang. Karena manusia jelas makhluk yang berproses. Sehingga jilboobs harus dipahami sebagai sebuah proses awal sehingga pada akhirnya bisa para “jilboober” bisa menggunakan jilbab yang syar’i.
Terlepas dari kontroversi itu, fenomena jilboobs memberikan kita kesadaran akan sebuah kenyataan dalam kehidupan beragamaa kita. Yaitu tentang substansi. Hakekat. Bahwa keberagamaan ketika hanya dibalut dengan syariat, maka kontroversi adalah anak kandungnya. Syariat selalu bisa di”rekayasa”, disesuaikan dengan keadaan dan kepentingan. Dan Tuhan sendiri selalu memiliki pengecuailian atau keringanan dalam setiap syariat yang diturunkan-Nya. Namun, begitu kita sampai pada substansi atau hakekat, kita akan menemukan kearifan dalam kedalaman.
Fenomena jilboobs menunjukkan dua kenyataan pada kita semua. Pertama, jilbab hanya akan bernilai sebagai hijab jika dia hadir dari kesadaran agama. Jika dia hadir dari kesadaran mode, maka itu tidak bernilai apapun. Jika hadir dari kesadaran agama, maka jilbab adalah ujud atau ejawantah dari pemahaman agama seseorang, sehingga anggun dan santunlah perangainya. Namun jika hadir dari kesadaran mode, maka yang terjadi adalah paradok, berjilbab kepalanya, tapi liar hati dan perilakunya. Ini yang menghadirkan kenyataan kedua, bahwa fenomena jilboobs adalah kenyataan yang menjadi tantangan bagi kaum agamawan. Kenyataan bahwa jilbab tidak mesti hadir dalam kesadaran beragama, mestinya memicu para agamawan untuk mulai mengenalkan agama dari substansi, bukan dari kulit atau syariatnya saja. Orang yang menyangka bahwa setiap jeruk yang menguning adalah manis, maka dipastikan dia tidak memiliki pengalaman cukup menikmati jeruk. Demikian juga, setiap penampilan manusia apapun itu, tidak selalu menunjukkan substansi di dalamnya. Jika kita masih saja menilai dan membesar-besarkan persoalan dari penampilan luar saja, maka kelas kita masih kelas dasar. SD saja belum tentu lulus itu namanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H