Tema merdeka menjadi tema tahunan. Setiap bulan Agustus banyak yang tiba-tiba terpaksa dan dipaksa melakukan refleksi. Pasalnya, banyak pertanyaan yang kemudian bersliweran, apa itu merdeka? Sudah kita merdeka? Apa itu kemerdekaan yang hakiki?
Mengapa pertanyaan model ini muncul? Ini dulu mungkin yang perlu diurai. Dengan terurainya pertanyaan ini, maka jawaban terkait kemerdekaan yang hakiki akan otomatis dapat dirumuskan.
Pertama kita baca dalam konteks luas. Terkait kemerdekaan sebagai bangsa. Secara normatif, jelas pertanyaan ini tidak perlu, karena jelas, per tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya. Sejak saat itulah, Bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan negara lain. Tidak lagi hidup terancam oleh kekuatan asing. Kemerdekaan telah terwujud nyata. Namun, nyatanya pertanyaan menyoal kemerdekaan masih sering kita dengar. Apa iya, kita benar-benar sudah merdeka?
Tentu kemerdekaan dalam pertanyaan di atas dimaknai berbeda, bukan dalam makna normatif, melainkan substantif. Idealnya, bangsa merdeka itu memiliki kedaulatan penuh, bebas bersikap, tidak khawatir pada ancaman atau embargo negara lain, untuk semua bidang. Mulai dari ekonomi, hukum, pendidikan, sampai dengan budaya. Apakah Indonesia sudah demikian, alias sudah merdeka? Silahkan dianalisis sendiri.
Kedua, kemerdekaan dalam konteks yang lebih sempit. Kemerdekaan yang hakiki sebagai manusia. Manusia sebagai individu, tentu memiliki idealitas mandiri. Setiap orang diasumsikan sebagai pribadi yang bidimensi. Memiliki dunia bersama sekaligus memiliki dunia sunyinya masing-masing. Manusia yang merdeka dicirikan dengan kebebasan.
Manusia merdeka adalah yang bebas menentukan akan ada dimana dia berada pada ruang besarnya, dan mau sembunyi dimana dirinya di ruang gelapnya. Tidak boleh ada larangan maupun intervensi apalagi paksaan. Ini yang sering didengungkan sebagai hak asasi manusia. Ia melekat untuk memberikan harkat dan martabat kemanusiaan kepada manusia. Adanya institusi besar berupa negara sekalipun harus dibatasi ketika berbicara hak asasi ini.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kemerdekaan sebagai manusia bisa kita rumuskan. Sepanjang negara memfasilitasi pemenuhan hak asasi sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, terbebas dari intervensi dan ancaman kekuasaan negara, maka manusia bangsa itu telah merdeka.
Namun, dalam konteks sosial, kadang manusia tidak mampu benar-benar merdeka. Pilihan selera makanan, fashion, orientasi libido dan seterusnya, seringkali manusia tidak sadar berada di bawah satu konstruksi sosial yang membentuknya. Mengapa orang mau membayar mahal makanan di kafe untuk sebuah makanan yang sama ketika dijual di kaki lima mungkin harganya jauh lebih murah. Ini adalah konstruksi. Mengapa ada istilah fashionable, itu adalah konstruksi. Mengapa ada parade kecantikan, itu adalah konstruksi.
Manusia yang merdeka, dalam konteks ini adalah yang sadar. Sadar bahwa dia berada dalam ruang sosial yang saling mempengaruhi, sehingga dia mampu memilih. Manusia merdeka sadar untuk memilih pada titik mana harus berkompromi, bukan semata mengikuti trend yang ada, yang pada akhirnya hanyut tak berarah seperti kotoran yang terbawa arus.
Manusia Merdeka pada level ini adalah manusia yang terbebas dari intervensi dan melakukan segala tindak kehidupannya dengan sadar. Sudahkah kita sampai titik ini?