Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik, Covid, Petasan, dan Neraka

18 Mei 2021   06:06 Diperbarui: 18 Mei 2021   08:47 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah resmi mengambil kebijakan larangan atau pembatasan mudik untuk libur lebaran tahun 2021 ini. Apa boleh buat, keputusan ini tentu tidak mudah diputuskan dan lebih lebih dilaksanakan. Pertaruhan  antara pencegahan persebaran dan peningkatan paparan covid-19 dan tradisi di sisi lain yang sudah berurat akar. 

Sebenarnya bukan  itu saja, ada faktor lain yang membuat suasana kali ini menjadi makin asik, yaitu pengalaman penangana covid-19 oleh pemerintah yang terkesan setengah-setengah dan tebang pilih. Sebagian diketatkan, Sebagian lain dilonggarkan dengan dasar argumentasi yang kurang sepadan dan proporsional, sehingga muncul kesan diskriminatif. 

Dampaknya jelas, makin banyak masyarakat yang justru menilai kebijakan covid-19 yang diambil pemerintah hanya "gimik" semata. "Lamis lambe" kalo orang jawa bilang. Hanya manis di mulut, bahkan cenderung penuh dengan kepentingan aji mumpung yang terselubung. Dampak yang muncul sebagai akibat tidak langsung, namun sangat berbahaya adalah adanya ketidak yakinan keberadaan Covid-19 itu sebenarnya ada atau hanya ilusi. Jangan-jangan itu hanya konspirasi global saja.

Polarisasi sikap masyarakat atas segala kebijakan pemerintah termasuk kebijakan pelarangan mudik jelas tidak dapat dihindarkan. Sebagian memandang keputusan pemerintah sudah cukup baik, sementara Sebagian yang lain mengabaikan, bahkan cenderung menentang. Ini yang menjadi kesan asik dalam fenomena mudik kali ini. 

Mudik tidak lagi berarti kebutuhan bersilaturahmi Idul Fitri, namun sudah ada bumbu-bumbu gengsi dan eksistensi. Dalam banyak sesi silaturahmi dan pertemuan, akan selalu ada pertanyaan, "lha kok bisa mudik? Katanya ada hadangan dan dilarang?". Pertanyaan itu akan dijawab dengan penuh kebanggaan. "Alaaah... itu omong kosong saja. Ini lho, saya berani mudik, dan berhasil menembus, menyusup, dan mengelabui petugas". Kadang, di akhir cerita aka nada narasi opini yang sangat ekstrim, "Covid-19 itu ga ada. Kematian itu sudah takdir dari Tuhan".

Secara tidak sadar, kita mengalami kelelahan dan kehabisan energi, bukan untuk menemukan solusi dan trobosan dari situasi pandemi, melainkan berkutat dalam polemik yang terus melingkar. Tidak ada kemajuan, karena semua berujung pada pangkalnya kembali. Berputar melalui titik yang sama.

Lebaran tahun ini memiliki catatan khusus. Karena ini tahun kedua setelah tahun kemarin kita menghadapi situasi yang tidak jauh berbeda. Setelah satu tahun berhadapan dan bahkan berdampingan dengan Covid-19, ternyata masih banyak yang belum bisa menerima keberadaannya. Di daerah-daerah, Covid-19 cenderung menjadi lelucon atau bahan konflik, tetapi tidak diantisipasi dengan cukup. Ia masih seperti hantu. Hantu dipercaya keberadaannya, diyakini dengan sangat kuat hanya oleh orang-orang yang "kebetulan" diperlihatkan kepadanya. Bahkan ada yang sudah melihat hantu, masih tidak percaya, hantu itu bukan apa-apa, hanya bikin panik saja.

Jangankan Covid-19 yang begitu "abstrak". Di Kebumen, satu hari menjelang Idul Fitri, konon ada enam orang tewas karena ledakan dari petasan yang sedang dibuatnya sendiri. Tidak tanggung-tanggung ada yang mengatakan bahwa petasan yang diprodukasi sampai menghabiskan bubuk ledak hingga 14 kilo gram. Berdasarkan cerita-cerita juga, mereka menggulung petasan dan mengisi bubuk ledaknya sambil merokok. Padahal, berita dan pengalaman langsung sudah membuktikan, petasan adalah barang berbahaya. Sudah banyak korban setiap tahunnya, tetapi tetap saja ada yang dengan bodoh mengulang cerita yang sama.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman itu tentu tidak terbatas pada pengalaman diri sendiri. pengalaman orang lain juga bagian dari pengetahuan penting. Jadi jangan menunggu tangan kita tergores pisau untuk yakin bahwa di bawah kulit ada darah berwarna merah. Sudah cukup kita melihat peristiwa rumah habis terbakar, kita tidak harus menyentuh api untuk meyakini eksistensi panasnya api neraka.

Syarif_Enha@Tegalsari, 18 Mei 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun