Ketika pulang dari acara cukur rambut bersama, Langit, anak saya yang masih umur 4,5 tahun, dia melihat bus Transjogja dan melontarkan pernyataan, "Pak, Langit sudah lama tidak naik bis".Â
Saya jawab, "Iya, kan masih ada corona Lang. Orang-orang juga pada takut naik bis, karena potensi besar penularan virus." Seperti biasa saya menjawab dengan serius.Â
Langit kemudian melanjutkan, "Karena takut kena racun ya?"
"Lho, kok racun?" Saya heran.
"Lha iya, kan virusnya beracun?" Langit menjawab dengan mantab.
"Tahu dari mana kalau virus beracun?" Saya penasaran.
"Dari Youtube." Jawab Langit pendek.
Tidak jarang, Langit menyampaikan ide dan gagasan yang dia ketahui dari youtube dan ingin mempraktekkannya. Salah satunya adalah keinginan mencoba mencampur permen mentos coca cola. Berkali-kali dia merengek minta beli coca cola dan mentos, dan akhirnya saya turuti. Setelah bereksperimen, Langit senang dan puas. Besoknya dia bercerita kepada kawan-kawannya tentang eksperimennya dengan nada kebanggaan.
Terlepas dari pro dan kontra pengaruh Youtube pada anak, Youtube menjadi media yang cukup berpengaruh. Apalagi di masa belajar dari rumah ini, dimana metode pembelajaran melalui online, youtube menjadi salah satu media yang paling banyak diakses. Tinggal bagaimana kita mendampingi dan lebih-lebih mendiskusikan dan mengarahkan konten apa yang telah diakses oleh anak.
Pada dasarnya, anak belum tahu apa itu yang baik dan apa itu buruk sampai diberi dan diajarkan oleh orang tuanya. Maka, satu proses pendampingan dan diskusi dengan anak menjadi penting. Minta anak untuk menceritakan apa yang telah dia tonton dan dia ketahui dari media elektronik, kemudian diskusikan, maka yang baik dan boleh atau harus diikuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari.
Dari situ, akan ada kesadaran bahwa tidak semua informasi di media sosial itu benar, dan menumbuhkan tradisi konfirmasi dan mendiskusikan dengan terbuka tentang apa yang baik dan buruk.