Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

... Sehingga Cinta

20 Desember 2020   14:33 Diperbarui: 20 Desember 2020   14:37 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Vivi tahu. Vivi juga sangat paham. Vivi memang dekat dengan siapa saja. Tapi berbeda denganmu Mas. Vivi merasakan kedekatan yang beda." Kembali Vivi mengatakannya, seperti biasanya.

"Tapi Vi, aku tak bisa."

"Mengapa? Karena Vivi tidak seperti yang Mas Gun inginkan? Terlalu naifkah Vivi, jika berharap bisa memiliki kekasih yang bisa membimbing Vivi dengan segala kelebihan yang dia miliki. Yang selalu bisa melindungi dan memberi ketentraman serta kehangatan?" Vivi selalu saja mengatakan hal yang sama. Seolah hanya dengan mengatakannya lagi dan lagi, dia akan bisa tenang.

"Kamu tidak mengerti Vi. Aku tidak seperti yang kau bayangkan."

"Vivi tidak pernah berharap lebih dari apa yang telah Vivi lihat dari dirimu Mas. BagiVivi dirimu yang ada saat ini sudah cukup." Vivi masih ngotot.

"Akh. Apakah aku mesti mengulanginya lagi?"

"Mengapa tidak. Vivi akan siap, dan akan selalu siap Mas." Vivi berkata mantap.

"Kamu benar-benar tidak mengerti."

"Apa yang Vivi tidak mengerti mas? Vivi menghormati semua prinsip-prinsip yang Mas Gun pegang. Sepenuhnya Vivi mengerti. Dan aku tahu, seberapa kuat Mas Gun mempertahankannya. Tapi Vivi hanya inginkan waktu. Sampai Vivi bisa betul-betul siap."

Seperti biasa, ketegangan ini berakhir setelah Vivi terisak menangis. Dan Guntur dengan lembut menghiburnya kembali. Sementara dentang jarum jam seperti hendak menghitung rentang waktu sampai kapan mereka bisa bertahan.

***

Aku kadang merasa bersalah. aku telah mengorbankan seorang wanita demi obsesiku, demi prinsipku. Dan kadang aku merasa telah terlalu jauh untuk kembali pada titik awal. Sebuah titik dimana tidak ada persoalan sama sekali antara diriku dan Vivi. Saat kami dengan gembira bercanda dengan kawan-kawan saat berkumpul bersama. Tapi itu sudah terlambat. Semua sudah terjadi tanpa aku sendiri menyadari resiko yang harus aku temui.

Pertama ku kenal kemanjaan Vivi selalu aku anggap sebagai sebuah yang wajar sebagai seorang wanita. Namun saat aku mulai kenal dirinya dan keluarganya, baru aku tahu, Vivi memiliki masa lalu yang berbeda. Sikapnya yang cenderung seenaknya dan kekebabasan yang sudah menjadi makanan sehari-hari seolah menjadi cirinya yang tersendiri.

Hidup jauh dari orang tua, mestinya bisa membuat orang semakin dewasa. Namun Vivi hidup bersama dengan neneknya yang selalu memanjakannya. Tidak pernah memberikan ikatan dengan berbagai peraturan norma yang mesti dijalankan. Vivi adalah wanita yang sangat natural, setidaknya menurutku.

Perjalanan bersama dirinya tiga hari keluar kota, mengubah semua persepsiku tentang dirinya. Aku merasa ada persoalan dalam dirinya yang belum terjelaskan. Di balik sifat periangnya dan mudah bergaul dengan siapa saja, ternyata Vivi memiliki segudang masalah dalam keluarganya. Dan secara tidak sadar, aku merasa perlu untuk membantunya. Entahlah itu mungkin karena aku sudah merasa dekat dan mengenalnya.

Waktu berjalan begitu cepat, seiring dengan perubahan-perubahan yang ia ciptakan. Aku dan Vivi menjadi semakin dekat, hampir setiap persoalan yang dia hadapi, selalu ia bincangkan denganku. Bahkan terkadang hanya persoalan warna baju apa yang sebaiknya dia pakai besok pagi, dia masih sempat menanyakannya padaku.

Teman-teman yang lain kini sering menggunjingkan aku dan Vivi. Pacaran. Begitu mungkin dalam perbincangan mereka. Dan tidak ada yang mempersoalkan. Tapi bagiku itu adalah satu tanda peringatan yang harus ku waspadai. Jangan-jangan Vivi benar-benar menyukaiku.

Aku sendiri masih ragu dengan diriku. Tapi aku juga tidak bisa melihat dirinya menangis dalam kesendiriannya. Apakah aku telah terlalu jauh? Masih terlalu banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Dan itu sangat prinsipil. Sempat terpikir olehku untuk menjauh, tapi aku belum bisa membaca kemungkinan pahit atau manis kedepannya, bagiku dan juga bagi dirinya. Tidak bisakah hubungan dekat ini dibangun tidak atas dasar cinta?

***

Wanita mana yang tidak ingin bahagia bila memiliki kekasih yang setia. Begitu satu bait lagu pada masa silam yang masih aku hafal. Hampir semua perempuan menginginkan pasangan yang ideal bagi dirinya, dan sudah sewajarnya jika para lelakipun menginginkan hal yang sama.

Mengenal mas Guntur seperti menemukan jiwaku yang lain, yang selalu ada dan memberikan inspirasi yang mencerahkan. Hidupku lebih bergairah. Aku sudah jarang sekali menangis, karena dia begitu pandai menghiburku. aku tidak perduli lagi dikatakan pacaran dengannya, karena memang itu yang aku inginkan. 

Aku merasakan hatiku bukan lagi milikku, tetapi sepenuhnya miliknya. Dan apapun yang ia katakan, apapun yang ia sarankan, akan selalu aku lakukan. Demi cintaku, aku siap lakukan apapun.

Namun, tampaknya dia tidak mengerti. Ia masih saja mengatakan prinsipnya berulang-ulang. Bahkan hampir setiap kami ketemu atau bicara dari hand phone. Tapi tak mengapa, bukan cinta namanya jika begitu saja aku sudah menyerah. 

Jangankan hanya mendengarkan dia bicara berulang-ulang, seandainya aku yang harus merapalkan kata-kata prinsipnya setiap waktu, aku akan melakukannya. Tidak ada yang salah dengan prinsipnya. Dan aku sangat bangga bisa mencintai lelaki seperti dia. Dan aku sangat yakin, suatu saat entah kapan, dia akan benar-benar mencintaiku. Karena aku sudah terlalu mengenalnya. Biarlah, bukankah cinta sejati itu tanpa syarat, biarlah aku tetap mencintainya dengan apa yang ada pada dirinya, bahkan dengan ketidak cintaannya padaku jika itu memang yang terjadi.

***

Malam itu, Vivi duduk sendiri dalam kamarnya di atas bangku menghadap ke luar jendela. Sepucuk kertas putih masih dia pegang erat ditangan kirinya. Padanganya kosong ke depan seolah hendak mencari sesuatu yang tidak begitu jelas. Pagi tadi surat itu baru datang dari Mas Guntur. Biasanya dia cukup bicara langsung atau melalui telepon, atau jika pendek cukup sms. Tapi surat itu terlalu penting, sehingga harus dituliskan. Dan Vivi harus membacanya saat malam sudah menggeser senja. Begitu pinta Guntur saat memberikannya. Dia pergi dengan tanpa banyak bicara.

=Vivi, sebelumnya aku minta maaf karena tidak mengatakan ini secara langsung kepadamu. Karena dengan membaca, mungkin kita bisa dengan jernih menimbang berbagai hal. Satu hal yang ingin aku sampaikan, aku tidak bisa melanjutkan kedekatan kita ini. Aku ingin kita selesai. Semoga kamu bisa bersikap dewasa seperti yang sering kita bicarakan bersama. Kamu tetap sahabatku yang paling baik.=

Surat dari Guntur itu masih ia pegang. Ia telah membacanya berulang-ulang berharap ada yang berubah dari kata-katanya. Tapi hasilnya nihil. Tetap sama.

Di luar, terdengar jangkrik dan beberapa binatang malam berpesta, menerbangkan bayang-bayang kebahagiaan masa lalu, menjadi banyak puzzle yang dihamburkan ke langit, menjadi mozaik-mozaik menghias langit, menjelma bintang-bintang terang di segala penjuru malam.

***

Vivi masih saja menangisi sepucuk surat dari Guntur. Dia tidak habis pikir mengapa dia begitu tega pada dirinya. Meskipun sudah berulang-ulang Guntur mengatakan alasannya, tapi bagi Vivi itu hanya alasan saja untuk tidak mau bertanggungjawab. Keesokan harinya ia memutuskan datang ke tempat tinggal guntur.

"Ini persoalan yang sangat tidak aku kuasai. Cinta bagiku adalah sebuah komitmen yang tidak bisa dijadikan main-main. Sekali aku mengatakan cinta kepada seseorang, tidak ada yang ke dua kalinya. Tapi itupun tidak dengan mudah aku akan mengatakannya. Aku butuh ketetapan hati. Taukah kau bahwa cinta tak selalu timbal balik, dan tidak ada alasan apapun untuk memaksa orang lain untuk mencintai dirinya, begitupun tidak ada seorang pun yang bisa memaksa dirinya untuk jatuh cinta. Apakah kau ingin menyiksa seseorang dengan memaksanya mencintaimu? Kita hanya bisa berusaha menjadi seseorang yang layak untuk dicintai, tetapi tidak harus dicintai. Karena layak itu tidak ada paksaan, semua orang bebas untuk mencintai atau tidak." Guntur menumpahkan semua perasaannya. Baru kali ini ia begitu serius membicarakan cinta. Semalam dia ternyata juga tidak bisa tertidur, karena beban perasaannya kepada Vivi.

"Mengapa ada cinta yang tak berbalas? Mengapa harus ada orang yang mencintai orang lain yang tidak mencintai dirinya. Bukankah Tuhan itu Maha Mencintai sehingga Dia harus dicintai? Tapi apa pula artinya jika dasar cinta adalah keterpaksaan? Yang ada hanyalah sandiwara. Aku sangat ingin mencintaimu apa adanya, tapi apakah kamu tahu seperti apa sakitnya hati ini jika cinta bertepuk sebelah tangan. Betapa nelangsanya jiwa, jika tahu ia tengah melakukan kesia-siaan. Aku sendiri tidak yakin, lilin bahagia dengan membakar dirinya demi terang ruang di sekitarnya." Dengan tanpa emosi yang meledak seperti biasanya, Vivi mengungkapkan perasaannya.

"Entahlah, kita memiliki konsep dan persepsi yang tidak sama tentang cinta. Bagiku cinta adalah rasional, jernih dan bermotif. Cinta adalah 'sehingga' bukan 'karena', dia penuh dengan alasan dan pertimbangan. Cinta bukan alasan bagiku untuk berbuat dan menuyusun rencana, tapi adanya motif dan alasan-alasanlah maka cinta itu kubangun. Dan saat ini aku tidak, atau mungkin belum menemukan alasan-alasan untuk mencintai. Siapa pun." Guntur merebahkan diri pada sandaran kursi.

Mereka berdua terdiam larut dalam pikiran dan rasa masing-masing. Perlahan muncul binaran di dua mata Vivi, namun justru keredupan di sepasang mata Guntur.

Tiba-tiba mereka berguman bersama-sama. "Mungkin aku keliru..." Mata mereka beradu. Ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir dari pancaran jiwa masing-masing melalui keduanya. 

 

Jogja, akhir September 2008 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun