Aku kadang merasa bersalah. aku telah mengorbankan seorang wanita demi obsesiku, demi prinsipku. Dan kadang aku merasa telah terlalu jauh untuk kembali pada titik awal. Sebuah titik dimana tidak ada persoalan sama sekali antara diriku dan Vivi. Saat kami dengan gembira bercanda dengan kawan-kawan saat berkumpul bersama. Tapi itu sudah terlambat. Semua sudah terjadi tanpa aku sendiri menyadari resiko yang harus aku temui.
Pertama ku kenal kemanjaan Vivi selalu aku anggap sebagai sebuah yang wajar sebagai seorang wanita. Namun saat aku mulai kenal dirinya dan keluarganya, baru aku tahu, Vivi memiliki masa lalu yang berbeda. Sikapnya yang cenderung seenaknya dan kekebabasan yang sudah menjadi makanan sehari-hari seolah menjadi cirinya yang tersendiri.
Hidup jauh dari orang tua, mestinya bisa membuat orang semakin dewasa. Namun Vivi hidup bersama dengan neneknya yang selalu memanjakannya. Tidak pernah memberikan ikatan dengan berbagai peraturan norma yang mesti dijalankan. Vivi adalah wanita yang sangat natural, setidaknya menurutku.
Perjalanan bersama dirinya tiga hari keluar kota, mengubah semua persepsiku tentang dirinya. Aku merasa ada persoalan dalam dirinya yang belum terjelaskan. Di balik sifat periangnya dan mudah bergaul dengan siapa saja, ternyata Vivi memiliki segudang masalah dalam keluarganya. Dan secara tidak sadar, aku merasa perlu untuk membantunya. Entahlah itu mungkin karena aku sudah merasa dekat dan mengenalnya.
Waktu berjalan begitu cepat, seiring dengan perubahan-perubahan yang ia ciptakan. Aku dan Vivi menjadi semakin dekat, hampir setiap persoalan yang dia hadapi, selalu ia bincangkan denganku. Bahkan terkadang hanya persoalan warna baju apa yang sebaiknya dia pakai besok pagi, dia masih sempat menanyakannya padaku.
Teman-teman yang lain kini sering menggunjingkan aku dan Vivi. Pacaran. Begitu mungkin dalam perbincangan mereka. Dan tidak ada yang mempersoalkan. Tapi bagiku itu adalah satu tanda peringatan yang harus ku waspadai. Jangan-jangan Vivi benar-benar menyukaiku.
Aku sendiri masih ragu dengan diriku. Tapi aku juga tidak bisa melihat dirinya menangis dalam kesendiriannya. Apakah aku telah terlalu jauh? Masih terlalu banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Dan itu sangat prinsipil. Sempat terpikir olehku untuk menjauh, tapi aku belum bisa membaca kemungkinan pahit atau manis kedepannya, bagiku dan juga bagi dirinya. Tidak bisakah hubungan dekat ini dibangun tidak atas dasar cinta?
***
Wanita mana yang tidak ingin bahagia bila memiliki kekasih yang setia. Begitu satu bait lagu pada masa silam yang masih aku hafal. Hampir semua perempuan menginginkan pasangan yang ideal bagi dirinya, dan sudah sewajarnya jika para lelakipun menginginkan hal yang sama.
Mengenal mas Guntur seperti menemukan jiwaku yang lain, yang selalu ada dan memberikan inspirasi yang mencerahkan. Hidupku lebih bergairah. Aku sudah jarang sekali menangis, karena dia begitu pandai menghiburku. aku tidak perduli lagi dikatakan pacaran dengannya, karena memang itu yang aku inginkan.Â
Aku merasakan hatiku bukan lagi milikku, tetapi sepenuhnya miliknya. Dan apapun yang ia katakan, apapun yang ia sarankan, akan selalu aku lakukan. Demi cintaku, aku siap lakukan apapun.