Suatu kali saya pernah membaca, "ajarilah anakmu memandangi langit". Namun seperti biasa, saya lupa dimana tulisan itu kutemukan, dan saya tidak sepenuhnya mengerti maksud rangkaian kata-kata itu. Akhirnya terpaksa saya menafsir-nafsirkan.
Di langit, dapat kita temukan sesuatu yang dapat dinikmati tanpa harus disentuh dan dimiliki. Tidak perlu berebut dan tidak perlu berdebat. langit akan memberikan gambaran-gambaran imajinasi melalui gumpalan dan hamparan awan yang tak pernah seragam setiap harinya. Siapapun di bebaskan untuk membentuk gambarannya sendiri sesuka hati, dan sekaligus belajar untuk menemukan arti dari setiap benda yang yang dipandangnya tidak berhenti pada benda yang dilihatnya.
Langit menawarkan beragam interpretasi yang bebas bagi siapa saja untuk menafsirkannya. Bagi seorang yang tengah gembira, langit sperti ikut merayakannya dengan gumpalan-gumpalan mendung yang mempesona. Bagi seorang yang tengah dirundung duka, langit seperti mengerti pada waktu yang sama, melukiskan kesedihannya dalam kanfasnya yang luas dengan beraneka buntuk awan. Langit seolah mengerti kehendak dan kemauan setiap orang yang memperhatikannya.
Namun sekarang kita sudah jarang melihat langit. Kita begitu sibuk mempersiapkan kehidupan kita untuk esok hari. Berangkat pagi buta, sebelum langit begitu jelas tampak, dan kembali pulang ketika langitu sudah terselimuti gelap. Kita pun tak sempat melirik beraneka bintang yang berserak di malam hari, karena badan begitu payahnya. Sebenarnya bukan masalah kita akan menikmati langit atau tidak, tetapi apakah kita masih bisa menangkap esensi keberadaan langit beserta mozaik yang menghiasi, saban harinya?
Diakui atau tidak, lambat laun kesadaran kita akan nilai-nilai mulai kabur. Kita semakin kesulitan dan mungkin bahkan enggan untuk berpikir sejenak untuk menemukan ruh dari suatu benda maupun peristiwa. Waktu hanya dimengerti dengan berdetaknya detik yang terus beredar. Kita gagal menemukan makna.
Kehidupan kita sudah diukur dengan segala angka dan ukuran yang pasti. Sedih itu diukur dengan air mata, warna hitam, dan lagu-lagu sendu yang menyayat. Sementara harta, tawa dan canda menjadi standar dari keberhasilan dan kebahagiaan. Adil diukur dari kuatnya alat-alat bukti, bagaimanapun caranya alat-alat itu diadakan. Baik adalah jika ada keuntungan yang diterimakan. bagaimana mungkin kita akan membangun sebuah peradaban jika kita tak bisa memahi sebuah gambaran atau abstraksi?
Kita sudah membunuh hati kita sendiri. Rintihan kesakitannya tidak pernah kita perdulikan. Ketika dia menjerit karena telah kita tusuk-tusuk dengan materialisme, hedonisme, kita dengan jahatnya tak pernah sekalipun meliriknya. Kini dia telah mati.Â
Dan ketika kita terbentur dengan begitu besar masalah, tidak ada lagi suara lembut yang menenangkan kita. Tidak ada lagi nada bijak yang menentramkan hidup kita. Keputusan-keputusan dalam kondisi pikiran gundah dan buntu, seringkali menampilkan pemandangan yang mengerikan.. Bunuh diri menjadi alternatif yang sering kita anggap rasional.
Barangkali memandang langit bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Namun cobalah sempatkan dipagi atau sore hari melayangkan pandangan ke ufuk timur dan barat. Lambat laun maka kita akan tahu bahwa setiap harinya Tuhan memberikan kehidupan yang benar-benar baru untuk kita semua. Sehingga tidak selayaknya kita sampai pada kesimpulan untuk menyatakan diri putus harapan.
Anak-Anak Langit
Ketakutan-ketakutan akan kelanjutan hidup di dunia ini, kadang labih besar bagi kita dibanding dengan kelanjutan hidup kita nanti setelah dunia ini. Sehingga kita begitu sibuk untuk persiapan masa tua kita di dunia.