Kekerasan, dalam hal ini berupa penusukan terhadap ulama atau tokoh ulama kembali terjadi. Beberapa waktu lalu, kejadian serupa terjadi juga kepada Wiranto selaku pejabat. Di lain kesempatan ada peristiwa serangan terhadap tempat ibadah. Semua peristiwa di atas, tentu membingungkan kita sebagai masyarakat umum. Mengapa? Karena peristiwa seperti itu memang tidak "umum" atau wajar.
Kejahatan pada umumnya dilakukan dengan kepentingan tertentu yang spesifik, dengan tindakan yang efektif dan pelaku dengan mudah dapat melarikan diri dari upaya pertanggungjawab atas perbuatannya. Peristiwa yang saya gambarkan di atas, jauh dari karakter normal sebuah kejahatan. Maka wajar jika kemudian publik bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang terjadi?
Ada 4 (empat) kemungkinan. Pertama, pelaku adalah orang gila. Ini nalar yang sangat mudah. Karena orang "waras" akan berpikir seribu kali untuk melakukan perbuatan yang serupa. Namun sayang, narasi ini sering dihubung-hubungkan dengan kepentingan politik, sehingga sering tidak bisa diterima begitu saja. Lebih-lebih, kita memang lebih suka melihat orang lain dihukum daripada harus dikenakan tindakan rehabilitasi jiwa. Lebih puas rasanya.
Kedua, Teroris. Nalar ini juga mudah diterima sebenarnya. Karena kepentingan teroris sebenarnya adalah bukan pada objek, melainkan pada "teror". Mereka fokus pada "pesan", bukan pada korban. Untuk mengidentifikasi jika ini adalah perilaku terorisme perlu dicari dan diketahui dahulu, apa pesan yang hendak disampaikan. Karena pada dasarnya, terorisme adalah upaya penyampaian pesan, namun dengan kekerasan. Inilah mengapa, korban terorisme berhak mendapat kompensasi, karena mereka menjadi korban "acak" tidak perlu, yang mestinya dapat perlindungan dari negara.
Ketiga, karena dendam. Kemungkinan ini kecil, mesti tidak menutup kemungkinan. Terlepas dari kasus Ustadz Ali Jabier, pelaku kejahatan karena dendam, kadang melakukan kejahatan dengan modus begitu rupa, untuk memuaskan rasa dendamnya. Tidak cukup dibunuh, tetapi juga dimutilasi. Lokasi, waktu dan situasinya diatur agar hasrat dendamnya bisa terlampiaskan. Maka seringkali aparat penegak hukum akan mudah mengungkap motif kejahatan personal yang berdasarkan dendam. Karena dari karakter perbuatannya biasanya tidak normal.
Keempat, adalah konspirasi. Artinya ada kepentingan lain yang lebih besar yang sedang diagendakan di luar peristiwa kejahatan yang terjadi. Kejahatan itu hanya sebagai bagian saja. Istilah lain, ada kejahatan berganda. Ada kepentingan yang lebih utama yang ditargetkan. Misalnya, pembangunan opini, pengalihan issu, kepentingan politik, atau memang serangan sistematis tertentu. Ini jelas perlu penelusuran lebih jauh.
Karena tidak mudah menemukan dan membuktikan benang merah peristiwa konkret dengan kepentingan kelompok tertentu yang sangat mungkin adalah "dalang" atau pembuat skenario. Dalam konteks kejahatan ini, kelompok dominan dalam hal ini penguasa atau "pengusaha" besar sangat mungkin terlibat.
Biasanya, pertanyaan retoris untuk mengungkap fakta ini adalah, siapa yang paling diuntungkan dari adanya suatu peristiwa. Kekerasan yang tidak berakibat terlalu fatal kepada korban, tetapi mampu menjadi issu nasional yang menenggelamkan issu lainnya yang mungkin lebih fital. Dalam hal ini, nalar intelejen perlu dikembangkan.
Terakhir, sebagai warga negara hukum, kita bisa percayakan proses penegakan hukum melalui jalur yang sudah ada. Jika kurang yakin, silahkan beri pengawasan dan kontrol yang proporsional. Jangan sampai kehabisan energi. Karena bisa jadi, itu yang memang diharapkan terjadi.
Syarif_Enha@Nitikan, 15 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H