Seseorang kawan yang tidak perlu saya tulis namanya, menceritakan tentang ujiannya ketika sekolah dulu.
Seperti biasa ketika akan mengikuti ujian, dia belajar dengan tekun, dan tidak lupa, sebagai ritual tambahan setiap ujian, dia melakukan shalat tahajud di malam harinya. Berdoa macam-macam. Salah satu doanya yang terucap adalah agar besok pengawas ujiannya dapat diajak kompromi.Â
Esoknya, waktu ujian ada dua orang pengawas. Satu orang yang mengawasi terkantuk-kantuk di depan kelas, sedang yang satunya keluar masuk kelas pergi ke toilet. Dalam hati kawan saya bersorak. "Wah asik, doa saya terkabul." Akhirnya dengan leluasa dia bisa melakukan jurus-jurus pembenar dalam mengisi jawaban setiap pertanyaan.
Usai ujian, seperti biasa dia berkumpul dengan kawan-kawan yang lain dan saling tukar cerita tentang ujian tadi. Karena saking gembiranya, kawan saya tidak terkontrol dan bicara kepada kawannya. "Wah, tidak sia-sia aku tadi malam berdoa dan tahajud, ternyata makbul. Pengawasnya ngantuk dan keluar masuk ruang terus." Mendengar dia berkata begitu, seorang kawannya justru menyanggah, "Kata siapa doamu yang makbul?Â
Mereka begitu kan karena jimat dan mantra-mantraku." Dan dengan satu gerakan, tamannya itu menuju ke pintu kelas yang tadi gunakan untuk ujian. Sedikit berjingkat, diambilnya satu bungkusan kecil berwarna putih, seperti bulatan kecil dibungkus kain mori, seraya bilang, "Yang berkasiat itu jimatku ini!" katanya bangga, dan kawan saya hanya melongo tak mengerti.
Mungkin dalam hatinya bingung, sebenarnya doa siapa yang terkabul. Apakah doanya tadi malam setelah shalat tahajud, atau jampi-jampi temannya yang memperoleh jimat di tempat kramat.
Kabul
Dalam struktur bahasa Indonesia, ketika seorang korban kejahatan atau kecelakaan disebut "tewas". Jika seorang penjahat yang mati ditembak polisi, disebut "mampus". Jika ada ulama yang meninggal dunia, maka disebut "wafat". Begitulah, kita mengenal tingkatan penggunaan bahasa dalam berbicara, sebagaimana bahasa Jawa, yang ada bahasa ngoko, krama, krama alus dan krama inggil. Mungkin karena mayoritas adalah orang Jawa-lah, ada dikenal tingkatan bahasa itu.
Dalam hal kabul ini, seringkali di pakai untuk terpenuhinya doa-doa. Sedangkan untuk terpenuhinya mantra digunakan kata mandi atau manjur. Sebagaimana obat dikenal juga istilah manjur, mujarab, atau top-cer.Â
Dalam hal ini, mantra, jimat dan sebagainya, berbeda dengan doa. Mantra, jimat dan sebagainya lebih dekat pada pengertian teknologi usaha manusia, sedangkan doa, adalah suatu prerogatife Tuhan untuk mengiyakan atau men-tidak-kan. Barangkali pengertian seperti di atas bukan sebuah kesimpulan yang sepenuhnya benar. Namun pada dasarnya, tidak ada orang yang bisa memaksakan setiap usahanya akan berhasil dan setiap doanya akan terkabul.
Dalam hal hikmah, bahkan seorang yang menempuh jalan ma'rifat tidak semestinya mengharapkan sebuah karomah, yaitu suatu kelebihan yang seringkali dimiliki oleh ahli hikmah. Karena jika tidak berhati-hati, maka jalan salik yang tengah ditempuhnya tidak akan berakhir pada hikmah, melaikan sesat karena pengaruh hawa nafsu. Niat yang tulus dan kepasrahan yang total adalah sebuah sarat yang mutlak bagi seorang salik. Dan Allah sendiri yang akan memutuskan akan memberikan hikmah dalam hal apakah pada dirinya.