Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterbatasan Pengetahuan Manusia

2 September 2020   09:31 Diperbarui: 2 September 2020   09:31 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterbatasan merupakan anugerah luar biasa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Silahkan anda membayangkan hidup yang tanpa keterbatasan, semuanya serba tidak terbatas. Pernahkah kita berpikir, apa jadinya kalau kita bisa mendengar semua suara di dunia ini, tanpa terpengaruh frekuensi, jarak maupun tabir. Semua suara, apa saja, bukankah kita akan merasa bising sepanjang masa? Dan saya yakin, umur kita tidak akan bisa mencapai satu minggu karena stres berat.

Bagaimana kalau kita bisa melihat tak terbatas. Pandangan kita tidak terpengaruh oleh cahaya, sehingga tidak pernah kita temui yang namanya gelap. Bagaimana jika pandangan kita tidak pernah terhalang oleh satu penghalang apapun, saya yakin, dalam sekejap kita akan menjadi buta.

Begitu juga dengan pengetahuan? Apa jadinya jika manusia memiliki kemampuan pengetahuan yang tidak terbatas? Ia pasti juga segera mati karena kebosanan yang memuncak. Apa lagi yang bisa dilakukan, bukankah dengan keterbatasan pengetahuan, manusia merasakan gairah pencarian?

Jika kita mencoba berpikir dengan cara demikian, maka kita akan merasakan sebuah kenikmatan luar biasa atas sebuah keterbatasan. Ia (keterbatasan) tidak lagi menjadi biang masalah dalam hidup, justru menjadi alat picu semangat untuk selalu bangkit menemukan keluasan di baliknya. Sebab, Tuhan jelas telah menjanjikannya, bahwa di balik kesumpekan, ada kaluasan.

Keterbatasan akan menjadi bencana luar biasa bagi manusia yang tidak menyadari kegunaannya. Setiap saat yang muncul hanyalah salah paham, berprasangka dan keluh kesah. Bagaimana tidak? Coba lihat sekitar atau tengok pada diri kita masing-masing. Seberapa besar pengetahuan kita atas sesuatu sehingga ketika kita mencoba untuk menyimpulkan?

Seorang suami yang pulang malam, sebelum sampai rumah dia mampir beli roti bakar untuk istri tercinta. Kebetulan HP-nya habis baterai sehingga tidak bisa menghubungi istrinya. Begitu sampai rumah, istri ngambek. Sudah dijelaskan, tetap tidak mau mengerti. Bahkan kemudian istri mulai curiga bahwa suaminya ada main dengan wanita lain di luar. Atas dasar apa istri memutuskan untuk ngambek dan curiga serta cemburu? Apalagi selain berdasarkan keterbatasan pengetahuan atas suaminya sendiri?

Sikap kita yang merasa kecewa karena begitu sedikit yang kita mengerti, karena begitu pendek jangkauan rengkuhan tangan, karena begitu sedikit kita miliki kesempatan dalam belantara hidup yang begitu rumit, tidak akan melahirkan apapun selain keluh kesah. Pertanyaannya, apakah itu merubah keadaan? Sambil tersenyum kecut saya yakin, kita akan menjawab tidak akan. Hidup akan bergulir dengan caranya sendiri yang kadang begitu kejam. Dan kita akan tergilas dalam nestapa karena dijajah perasaan tertekan oleh keterbatasan.

Keterbatasan, mestinya menuntun kita untuk mencoba percaya pada apa yang ada di hadapan mata, apa yang di dengar telinga, apa yang terjelaskan oleh pengetahuan, tanpa menafikan keberadaan segala hal yang berada di luar tembok jangkauan kita. Dengan cara ini, mari kita mencoba untuk percaya diri tanpa terjebak pada kesombongan. 

Percaya diri pada semua realitas yang ada pada diri kita sekarang, bahwa inilah capaian paling realistis ada pada diri kita. Tidak terjebak sombong karena lebih banyak hal di luar kekinian yang sedang mengepung diri kita. Percaya diri akan membawa kita pada pikiran posistif terhadap masa depan, pada kenyataan-kenyataan yang terjadi di luar jangkauan pandangan kita.

Hanya sedikit yang kita tahu, jangan menjadikan kita tidak percaya diri atas keberadaan dan kesimpulan-kesimpulan kita, karena khawatir bahwa apa yang ada di hadapan kita merupakan desain jahat dari balik tembok realitas yang kita tidak tahu. 

Tetapi, mari kita jadikan sedikitnya pengetahuan kita sebagai alarm alam pikir kita agar selalu terjaga dan waspada tanpa melahirkan rasa curiga. Itulah makna lain atas taqwa yang Tuhan ajarkan kepada hamba-hambaNya. Yakni kesadaran diri untuk waspada dalam hidup di dunia yang penuh keterbatasan. Syarif_Enha@Demangan 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun