WS Rendra, penyair yang dikenal dengan Si Burung Merak, meninggal pada usia 73 tahu, Kamis malam, 6 Agustus 2009 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok. Sakit jantung koroner, telah mengantarkan pria kelahiran Solo, 7 November 1935 itu kepada Sang Pencipta.Â
Kepergiannya menyisakan banyak kenangan bagi para sahabatnya sesama seniman dan juga masyarakat bangsa Indonesia. Semangatnya melakukan perlawanan dengan kritik melalui karya-karyanya akan terus hidup.
WS Rendra dikenal sebagai budayawan yang mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.
Dalam sebuah kesempatan bicara dalam forum Unesco, beliau mengatakan, sebuah bangsa tidak cukup terdidik. Sebuah bangsa itu harus berbudaya. Budayawan harus jadi tulang punggung peradaban. Kalimat tersebut kemudian mengundang perdebatan, apakah semua orang yang terdidik itu beradab atau tidak? Apakah negara yang maju itu beradab atau tidak?
Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan namun sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta selepas menamatkan sekolahnya di SMA St.Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian memperoleh beasiswa pendidikan di American Academy of Dramatical Art, New York, USA.
Pada dekade 70 an, tatkala pers diberangus, ketika Komando Keamanan dan Ketertiban mengatur semuanya, rakyat memerlukan seorang pemberani, reformis, dan pemberontak.Â
WS Rendralah yang selalu tampil alakadarnya tapi gagah berani maju ke lini depan. Rendra tampil menjadi penyambung lidah rakyat yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Rendra memang sering berurusan dengan penguasa Orde Baru. Ia pernah meringkuk dalam penjara antara Mei 1978 sampai Oktober 1979. Semua itu adalah pertanda tak terelakkan dari sebab akibat sikap dan tindakannya sebagai seniman yang mendambakan kebenaran, keadilan dan kebebasan. Tapi kejadian tersebut tak membuat Si Burung Merak itu berhenti menelurkan kekesalannya terhadap banyak hal lewat sajak, puisi, maupun drama.
Banyak hal yang menarik dari perjalanan kisah hidup WS Rendra yang bisa dijadikan teladan, terutama bagaimana dia sampai pada keputusan memeluk agam Islam. Perjalanan panjang spiritualnya, mengantarkan dirinya pada dua kalimat syahadat.
Hidup yang Terus Menelusuri Jejak Tuhan
Rendra adalah sosok yang serius bukan saja dalam seni, tetapi juga dalam hal beragama. Agama baginya bukan hanya sekedar kelengkapan identitas dalam kartu tanda penduduknya, namun lebih jauh sebagai jalan hidup yang mesti dilakoni.Â