Demokrasi Indonesia yang direpresentasikan melalui proses pemilu, ternyata tidak kunjung mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas. Kita sebagai pemilih, seringkali mengeluh dan bertanya-tanya, kok bisa wakil rakyat yang terpilih begitu perangai dan kapasitasnya?
Sementara kita merasa sudah begitu serius dalam berdemokrasi, sehingga sebelum memilih kita timbang dan pikir secara mendalam.
Tidak jarang kita bertanya langsung kepada Tuhan, siapa wakil dan pemimpin yang Beliau ridloi. Ini lah demokrasi. Selamat datang di dunia para penguasa.
Kebenaran itu bersifat objektif. Tidak perduli yang menyampaikan banyak orang atau hanya sedikit bahkan satu orang saja. Kebenaran akan tetap menjadi kebenaran.
Tetapi kebenaran berbeda dengan kenyataan atau fakta. Kita terlanjur menyepakati model kenyataan yang dikendalikan dengan doktrin yang kita anggap benar. Bahwa mayoritas mewakili kepentingan kebenaran dan kemaslahatan.
Padahal, angka adalah sesuatu yang paling mudah untuk dimanipulasi. Begitu yang muncul adalah angka mayoritas, maka kita dituntut untuk menerima. Namun begitu, kenyataan tidak selalu jalan dengan kebenaran.
Inilah fenomena demokrasi. Secara prinsip tidak ada masalah. Karena kebaikan hanya akan melahirkan kebaikan. Masyarakat yang baik, hanya akan bisa melahirkan kebaikan dalam demokrasi. Hanya kadang, kebaikan itu tidak selamanya bisa atau sanggup berhadapan dengan kejahatan.
Dengan sedikit rekayasa oleh sekelompok orang, demokrasi bisa digunakan sebagai alat legitimasi atas suatu kehendak jahat. Sementara mayoritas orang baik tidak bisa berbuat apa-apa. Apa  boleh buat, angka telah bicara.
Saya pernah berpendapat bahwa masyarakat kita tampaknya belum bisa berdemokrasi dengan baik. Artinya, apa yang menjadi aspirasi, belum sepenuhnya berasal dari kepentingan yang merdeka setiap individu, sehingga ketika berkumpul menjadi mayoritas benar-benar merupakan representasi kepentingan bersama.
Sebagian besar masyarakat kita masih mudah dipengaruhi dengan iming-iming kosong. Masih mudah silau dan gumun dengan berbagai akting para aktor ketoprak. Masih banyak orang yang sulit membedakan mana dunia nyata, mana sandiwara. Pada akhirnya kita seringkali merelakan diri untuk ditipu, dan secara sadar membiarkan diri tertipu.
Masyarakat kita belum terlatih untuk membedakan kelas kepentingan, jangka pendek, menengah dan panjang. Sebagian besar kita, masih memandang kepentingan berkorelasi dan bahkan sama dengan keuntungan. Sementara keuntungan adalah materi, dan materi itu adalah uang.