Kematian selalu saja menjadi kabar yang menyentak untuk didengar. Bahkan dari seseorang yang sudah bertahun-tahun sakit sekalipun, kabar kematian tetaplah sebuah kabar yang tidak ingin segera didengarkan dan diterimakan.Â
Mungkin karena di dalam setiap hati manusia, kematian adalah sesuatu yang begitu jauh, dari keseharian manusia. Bahkan bagi seorang penggali kubur sekalipun, dia akan selalu teperangah, "lho kok malah dia yang mati duluan..." tidak ada manusia yang bisa mengatur jadwal kematian. Ia hak prerogatip Tuhan tanpa ada yang bisa interfensi.
Berbeda dengan kita sedang menunggu bis kota di pinggir jalan, semua perhatian kita tercurah pada hampir tiap kendaraan yang lewat, sehingga saat bis yang kita tunggu datang, dengan penuh keyakinan kita segera lambaikan tangan. Sedangkan hidup kita ternyata tidak kita tujukan untuk kematian, melainkan pada kehidupan itu sendiri.Â
Kita asik dengan segala macam pernik dunia, sampai pada saatnya ternyata waktu kunjung kita habis, dan petugas tanpa bisa ditawar menggelandang kita pulang. Padahal kita masih asik dengan tungku yang menyala dengan aneka jenis masakan di atasnya. Padahal ada kawan-kawan yang berdatangan akan menghadiri pesta.Â
Sedetik saja kita tidak diperkenankan untuk berhenti sebentar untuk melihat kemeriahannya. Saat dijemput, kita baru akan tahu, bahwa kita benar-benar hidup sendiri. Benar-benar sendiri.
Berpuluh, beratus bahkan beribu orang datang melayat atas sebuah kematian. Tidak satupun orang bisa mengukur kedalaman sedih yang terpendam. Semua menampilkan diri sebagai orang yang paling kehilangan.Â
Dari pakaian, raut muka, getar suara, sampai air mata, dikemas untuk sebuah ekspresi kehilangan, penghormatan, dan penghargaan. Tapi siapa bisa jamin bahwa sebegitu banyak pelayat datang karena ketulusan maksud dari jiwanya.Â
Cobalah tengok dari cara mereka memasang karangan bunga, besaran mana antara tulisan pengirim dengan ucapan belasungkawanya. Coba didengar obrolan mereka, adakah nada kesedihan di sana atau lebih banyak canda sesama kawan lamanya yang kebetulan berjumpa.
Jika saja Tuhan mengijinkan untuk setiap orang mengerti dan mendengar kata hati setiap orang. Andai Tuhan menelikung hukum alam tentang waktu dan ruang sehingga tidak ada lagi jarak dan keterhalangan.Â
Seumpama tuhan menakdirkan wajah manusia ditentukan dengan amal dan perbuatannya. Mungkin tidak diperlukan lagi barisan kata dalam kitab undang-undang yang melarang berbagai bentuk kejahatan, karena setiap orang akan segera mengurungkan niat jahatnya.Â
Mungkin tidak akan ada orang yang berpura-pura manis muka untuk menebar pesona, karena setiap orang mengerti akan kebusukan hatinya. Mungkin tidak akan ada orang yang merasa sendiri, karena semua orang setiap saat bisa bercengkrama.Â