Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngopi Dulu Baru Mikir

14 Juli 2020   03:28 Diperbarui: 14 Juli 2020   03:36 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan kita (atau mungkin hanya saya saja), mendengarkan ceramah seperti gelas yang menunggu kucuran dari teko berisi air. Sudah jarang yang berlaku seperti timba yang keliling datang mencari sumur, kemudian turun ke dasar dan mengambil sebanyak ia bisa ambil.

Filosofi di atas tampaknya hanya tepat bagi para ilmuwan. Orang-orang yang secara garis kehidupannya memang memposisikan pada jalur keilmuan. Filosofi ini menjadi tepat, karena akan menuntun mereka pada jalur yang dipilih. Masing-masing berjalan pada rel ilmu pengetahuannya dengan sesekali bertegur sapa di persimpangan dan titik pertemuan. Masing-masing memiliki sumur ilmunya sendiri.

Filosofi ini tidak cocok untuk ilmuwan "jadi-jadian". Yaitu orang yang jalur capaian ekonomi dan kekuasaannya melalui jalur ilmu. Berapa banyak pengajar yang mendalami keilmuan karena murni pengembangan ilmu itu sendiri? Bisa dihitung dengan jari (bisa jadi jari orang sekampung, jika ternyata banyak). 

Sebagian besar (mungkin ini asumsi) merasa terpaksa bergaya ilmuwan, karena dari sana diperoleh pundi-pundi kekayaan dan kekuasaan. Bagi orang model ini, filosofi ini jauh dari memadai, bahkan mungkin tidak akan berguna sama sekali, karena hanya akan diabaikan saja.

Filosofi ini cukup baik. Tetapi, bagi kebanyakan orang, tampaknya filosofi ini tidak atau kurang pas. Bagi kebanyakan orang, ilmu masih berada pada strata nilai yang tidak utama. 

Ada kedudukan ekonomi dan kehormatan yang berada di atasnya. Sehingga mencari ilmu adalah sisa-sisa waktu luang di tengah kesibukan mengumpulkan uang dan menumpuk kehormatan. Dalam situasi ini, orang yang mau duduk dan mendengar orang bicara ilmu, adalah istimewa.

Kebanyakan kita rajin mendatangi majelis ilmu dengan kekosongan, tanpa upaya menakar memperhitungkan mengukur dan sebagainya. Bahkan, kita terlanjur menikmati dan mencukupi pengetahuan bahwa mengaji itu baik, sehingga datang ke pengajian adalah kebaikan tersendiri. 

Apapun yang disampaikan penceramah ditampung karena memang itu yang dikucurkan. Jikapun kita sudah penuh, karena teko masih isi, dan terus dikucurkan tumpahlah kemana-mana ilmu itu.

Perilaku di atas, menjadikan kita kurang bersikap kritis. Kita tidak memiliki daya saring yang cukup. Padahal Dai, Muballigh, atau Penceramah adalah juga manusia, yang bisa jadi salah atau kurang tepat dalam penyampaian ilmu. 

Kita jadi benar-benar seperti gelas yang terbuka. Tidak ada kemampuan kontrol pada teko mana dan isinya apa yang nantinya akan dituangkan. 

Bisa jadi, hari ini gelas diisi kopi, besoknya teh, selanjutnya soda gembira, hari lain jamu atau bahkan tuak dan minuman keras. Fenomena inilah yang barangkali menjadi penyebab keluhan banyak jamaah yang mengaku sering bingung, karena adanya banyak pendapat yang berbeda-beda.

Menjadi jamaah pengajian, sebisa-bisanya menjadi santri yang cerdas. Santri/jamaah yang cerdas adalah yang tahu persis apa yang dia butuhkan, sehingga dia seperti timba yang selektif memilih sumur mana yang hendak disuluh. Ambil secukupnya kapan lagi mengangsu lagi. Semata agar tidak muntah dan sia-sia.

Saya punya filosofi lain, yang boleh jadi lebih pas bagi kita merdeka. Mencari ilmu itu bukan seperti timba atau gelas. Mencari ilmu subjeknya harus kita, sebagai manusia yang merdeka. 

Maka dalam mencari ilmu kita harus sebagai pembawa cawan, gelas, timba, ember, atau apapun namanya, yang akan kita gunakan untuk menampung ilmu dari siapa saja. 

Selama itu ilmu, bisa ditampung. Kita juga pada akhirnya punya keputusan, mau menuangkan ke tanaman di belakang rumah, atau meminumnya pelan. Ketika kita hendak meminum dan menelannya, kita harus pastikan itu sesuai dengan kebutuhan kita. 

Dengan demikian, kita menjadi pemegang otoritas. Kitalah yang menentukan, kapan gelas diisi kopi robusta, kapan kopi arabika. Jika sudah jelas teko berisi kopi, jangan ragu untuk menuang. 

Jika gelas sudah berisi kopi, jangan ragu untuk meminumnya. Jika sudah begini, maka baru bisa diberlakukan dialektika prinsip "Ngopi Dulu Baru Mikir".

Syarif_Enha@Sorogenen, 13 Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun