Menjadi jamaah pengajian, sebisa-bisanya menjadi santri yang cerdas. Santri/jamaah yang cerdas adalah yang tahu persis apa yang dia butuhkan, sehingga dia seperti timba yang selektif memilih sumur mana yang hendak disuluh. Ambil secukupnya kapan lagi mengangsu lagi. Semata agar tidak muntah dan sia-sia.
Saya punya filosofi lain, yang boleh jadi lebih pas bagi kita merdeka. Mencari ilmu itu bukan seperti timba atau gelas. Mencari ilmu subjeknya harus kita, sebagai manusia yang merdeka.Â
Maka dalam mencari ilmu kita harus sebagai pembawa cawan, gelas, timba, ember, atau apapun namanya, yang akan kita gunakan untuk menampung ilmu dari siapa saja.Â
Selama itu ilmu, bisa ditampung. Kita juga pada akhirnya punya keputusan, mau menuangkan ke tanaman di belakang rumah, atau meminumnya pelan. Ketika kita hendak meminum dan menelannya, kita harus pastikan itu sesuai dengan kebutuhan kita.Â
Dengan demikian, kita menjadi pemegang otoritas. Kitalah yang menentukan, kapan gelas diisi kopi robusta, kapan kopi arabika. Jika sudah jelas teko berisi kopi, jangan ragu untuk menuang.Â
Jika gelas sudah berisi kopi, jangan ragu untuk meminumnya. Jika sudah begini, maka baru bisa diberlakukan dialektika prinsip "Ngopi Dulu Baru Mikir".
Syarif_Enha@Sorogenen, 13 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H