Hukum dapat dipahami secara sederhana sebagai aturan yang memaksa untuk dipatuhi dan ditaati dengan adanya sanksi bagi yang melanggar. Secara garis besar, hukum juga terbagi menjadi dua, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.Â
Hukum tertulis sering disebut sebagai undang-undang, Peraturan Pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dan sebagainya, sampai pada aturan dasar suatu organisasi yang mengikat para anggotanya. Hukum tertulis sering dipahami sebagai hukum yang hadir dari otoritas dan kewenangan yang sifatnya subordinatif dan resmi.
Sedangkan hukum tak tertulis sering disebut sebagai adat, budaya, kebiasaan, sampai sebaris aturan etik yang tak pernah ditemukan dalam buku manapun, tetapi mengikat dan ditaati semua orang.Â
Misal, tentang kencing di kuburan. Tidak ada seorangpun terutama orang Indonesia yang berani kencing di kuburan. Meskipun tidak pernah kita temui papan di kuburan yang menyatakan larangan tersebut sebagaimana sering kita temukan di pojok-pojok gedung megah.
Saat ini, kedudukan hukum tak tertulis seperti dinomor-duakan, karena dinilai tidak jelas dan tegas. Sehingga orang lebih suka membuat semua aturan dalam bentuk tertulis.Â
Mereka menilai jika ditulis, maka aturan tersebut lebih jelas, lebih tegas dan pasti. Kiranya perlu kita melihat secara objektif terhadap pandangan semacam ini. Misalkan saja, mari kita hitung berapa banyak pelanggaran terhadap aturan lalu lintas? Yang pelanggaran tersebut jelas-jelas melanggar undang-undang lalu lintas. Namun pada kenyataannya, kita sering menerima permakluman dari penegak hukum (baca:polisi) dengan hanya membayar sejumlah uang.
Hukum tidak tertulis memiliki jumlah yang tidak terbatas. Mengapa? Karena dia hidup dalam alam bawah sadar masyarakat yang terus berkembang seiring dengan pertumbuhan peradaban.Â
Rasa adil, rasa benar, nilai keutamaan, nilai tercela, kebaikan, keburukan dan seterusnya, berkembang seiring dengan kemajuan kemanusiaan. Contoh saja, ketika abad ke enam, dimana tradisi peperangan masih kental dalam peradaban kehidupan manusia, nilai-nilai yang dianut jelas berbeda dengan kondisi kejiwaan manusia abad 21.Â
Darah pada masa peperangan mungkin adalah simbol keberanian dan kepahlawanan, namun sekarang, kita bisa pingsan hanya karena melihat kaki anak kita lecet memerah karena jatuh dari sepeda.
Sebuah hukum terus berevolusi sesuai perkembangan kehidupan dan pemikiran manusia. Oleh karenanya, hukum yang tertulis selalu dikatakan sebagai hukum yang tertinggal. Dia mengikuti dari belakang fenomena kehidupan manusia. Sementara hukum yang tidak tertulis, dia tumbuh bersama perkembangan hidup masyarakat.
Dengan demikian, pada hakekatnya hukum tertulis mestilah lahir dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sifatnya abstrak dan tidak tertulis. Jika tidak, maka secara batiniah, kita sebenarnya sedang hidup dalam norma kepura-puraan. Sesuatu diatur sedemikian rupa dalam perundangan, namun kita sebenarnya tidak pernah menginginkannya. Ini konyol jadinya. (Syarif_Enha@Nitikan 23 Maret 2020)