"Dalam hidup, tidak ada lagi yang saya cari. Semua sudah cukup dan saya syukuri. Tidak layak bagi saya untuk banyak meminta kepada Tuhan atas kebaikan-kebaikan tambahan dari semua kebaikan yang luar biasa ini."
Begitu kata seorang tua setelah salat magrib di sebuah surau. Tampilannya sangat biasa sebagaimana orang tua. Memakai kaus berkerah warna biru tua, dengan sarung kotak-kotak yang beberapa titik berlubang karena secara idak sadar sering kejatuhan bara api ketika dia tengah asik merokok. Di atas kepalanya sebuah peci hitam yang sudah mulai menguning karena pudar. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya.
Sebagai seorang muda yang masih kurang pengalaman, maka saya hanya diam dan mendengarkan. Tentu kata-katanya itu hadir bukan hanya berasal dari kepalanya yang dipenuhi uban, tetapi juga pemikiran, perasaan dan emosinya, setelah sekian lama bergelut dalam kerasnya hidup. Kebetulan, saya tahu sedikit banyak bagaimana laki-laki tua itu selama ini memilih jalan hidupnya.
Dia termasuk orang yang sejak muda gandrung dengan ilmu. Bukan sembarang ilmu, melainkan ilmu tua. Itu kata orang-orang tua di desaku. Ilmu tua artinya, ilmu sikap hidup untuk qonaah, menerima dengan penuh suka cita dan rasa syukur yang meluap untuk kenikmatan hidup yang melimpah. Padahal, dalam kacamata pandang saya, yang masih begitu cetek, melihat bahwa tidak ada sedikitpun dari cara hidupnya yang bisa dibanggakan dalam gaya hidup modern saat ini. Saya katakan tidak ada. Sama sekali tidak ada.
Melihat kenyataan yang demikian, kemudian saya iseng-iseng berpikir. Dari olah pikir yang serampangan, maka saya berhasil menarik paling tidak dua kesimpulan dari kata-kata dan keadaannya itu. Pertama, saya menyimpulkan bahwa ketika kita telah menginjak usia senja, dimana kemewahan dunia sudah tidak lagi bisa dinikmati secara maksimal, maka kita akan sampai pada posisi untuk menolak dunia dan merasa cukup dengan keadaan yang ada.Â
Bagaimana mungkin kehausan dunia bisa tetap bertahan, ketika alat dan kemampuan menikmati hidup sudah jauh berkurang. Seperti orang yang tidak lagi memiliki barisan gigi yang kuat, ia tidak lagi membutuhkan sajian kripik segurih dan senikmat apapun. Artinya, dia mencukupkan dirinya atas kenyataan hidup yang tidak mungkin lagi mampu diraihnya. Menyerah dengan gagah. Menolak berperang, sebelum dia dikalahkan.
Kedua, adalah sebuah prestasi yang luar biasa ketika dalam usia senja seseorang masih bisa mempertahankan idealitas hidup yang dibangun sejak awal mula. Bukankah kemampuan luar biasa manusia adalah pada kekuatannya untuk bisa bertahan dalam konsistensi? Sementara banyak generasi yang runtuh dalam perjalanan kisahnya hanya karena ketidak-mampuan menjaga konsistensi ide untuk selalu berada dalam track yang dianggapnya benar. karena sejatinya manusia dilepaskan dalam jalan menuju pulang.Â
Jika dia bertahan dengan selalu menghadapkan wajah pada tujuan akhir rumah kepulangannya, maka dia akan sampai dengan selamat. Namun, jika dia mulai berpaling dan menikmati kesesatannya, maka dia akan sampai pada jalan gelap tak berujung kecuali lembah yang menghancurkan.
Saya sendiri tidak berani menyimpulkan dimana posisi bapak tua di atas. Karena semuanya tergantung pada dirinya sendiri. Apakah dia benar-benar hidup cukup, artinya dia memandang hidup itu ya secukupnya. Ataukah dia sebenarnya telah cukup hidup, yaitu keputusannya berasal dari kesimpulan yang ditariknya setelah sekian tahun hidup dalam kerasnya dunia.Â
Pada akhirnya saya mencoba menyimpulkan, bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki alasan untuk setiap sikap dan perilaku yang diputuskannya, entah itu alasan yang dibenar-benarkan, atau benar-benar alasan yang benar, sehingga kesimpulan terakhir terlahir dengan sendirinya, bahwa narsis dan tidak mau tampak bodoh adalah salah satu sifat dasar alamiah manusia. Tetapi, kesimpulan saya itu, mungkin keliru.
Syarif_Enha@Nitikan, 2013