Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Duduk-duduk" ala Ali Bin Abi Tholib

2 Juli 2020   21:19 Diperbarui: 2 Juli 2020   21:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasulullah menyampaikan kepada kita, bahwa Beliau adalah Kota Ilmu dan dan Sayyidina Ali adalah Pintu Gerbangnya. Pernyataan ini seperti menjadi legitimasi begi otoritas Imam Ali untuk menjadi penyambung ajaran Islam.

Cukup banyak riwayat yang menjelaskan keluasan dan kedalaman ilmu dan iman Imam Ali. Salah satu pernyataan Beliau yang luar biasa adalah, bahwa tidak akan bertambah iman Beliau, meski kelak ditunjukkan padanya alam malakut. Mengapa demikian, karena di alam semesta ini sudah cukup membangun keimanan secara paripurna. Sehingga kelak jika sudah masuk alam malakut, tidak lagi bertambah keimanan, karena sudah memuncak.

Cukup banyak pandangan Imam Ali, satu yang menarik adalah analisis Beliau terkait "duduk-duduk". Kata duduk-duduk dalam arti yang ghalib kita pahami. Bahwa, kita sering nongkrong dengan beragam orang atau komunitas. Baiklah, berikut pesan Beliau bagi kita semua.

  1. Siapa yang duduk-duduk bersama perempuan maka bisa bikin bodoh.

Mengapa bisa demikian, mungkin ini soal tradisi. Komunitas perempuan jika berkumpul maka yang terjadi tidak jauh adalah gosip. Sampai-sampai diingatkan dalam al qurn surat al hujurat, yang secara eksplisit melarang para perempuan untuk saling olok dengan kelompok lain. Apa jadinya, jika kita duduk-duduk dalam forum model begitu? Bisa jadi, ini pandangan psikologis, misalnya ini mukhotobnya adalah laki-laki, maka sudah menjadi ghalib, ketika laki-laki bisa menjadi bodoh tiba-tiba ketika bertemu dengan perempuan. J

  1. Siapa yang duduk-duduk bersama anak-anak maka akan mehabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak berguna.

Pada bagian ini, saya mengamini. Tentu ini anak-anak yang bukan anaknya sendiri. Kumpul-kumpul dengan anak-anak isinya paling main-main. Piknik dan sebagainya. Jika bareng anak sendiri, mungkin akan ada proses pendekatan emosional yang menjadi bagian pendidikan.

  1. Siapa yang duduk-duduk bersama orang fasik maka akan semakin berani dengan Tuhan.

Pada bagian ini jelas jika konteks duduk dan berkumpul dalam kefasikan. Maka akibat yang terjadi, tidak lain juga kita semakin berani kepada Tuhan. Karena bersama orang fasik, kita bisa terjerumus asik memperolok agama dan Tuhan.

  1. Siapa yang duduk-duduk bersama dengan orang alim, maka akan semakin hidup barokah.

Yang terakhir ini, saya senantiasa berdoa. Semoga senantiasa dikumpulkan bersama orang-orang alim, cerdik pandai.

Yang menarik adalah, bahwa ternyata duduk-duduk, berkumpul dengan seseorang sangat menentukan hasilnya. Dengan siapa kita berkumpul, maka relevansi hasilnya bisa diprediksi. Namun, sudah menjadi sunnatullah, bahwa manusia itu berkumpul sesuai dengan klasternya. 

Jika orang baik, dia cenderung mendekat dengan orang baik. Orang alim, sudah lazim akan berkumpul dan banyak bertemu dan diskusi dengan orang alim. Kelompok receh, ya begitu juga. Mereka akan menjalani kehidupan mubadzir secara berjamaah juga.

Pada akhirnya, pesan ini bukan hukum pasti, tetapi mestinya menjadi bagian kesadaran kita. Jika kita tahu tidak alim, maka mari kita mendekat kepada para alim ulama agar kehidupan kita berkah.

Syarif_Enha@Sorogenen 23, 23 April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun