Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Mengalami Lompatan Peradaban

17 Juni 2020   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2020   05:56 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya akan memulai tulisan ini dengan mengutip tulisan Bre Redana, 9 tahun silam. "Bangsa yang melampaui fase-fase perkembangan peradaban. Bayangkanlah, tanpa pernah melalui zaman pencerahan yang mengagungkan akal budi dan pemikiran, dilanjutkan revolusi industri yang mengutamakan efisiensi serta utiliti, tiba-tiba masuk ke era konsumsi. Jadilah yang berkesempatan punya segalanya tanpa bekerja pamer kekayaan. (Bre Redana, "Catatan Minggu" (Kelas Atas Kita), Kompas Minggu 24 April 2011).

Bre Redana sedang membaca kita, bangsa Indonesia. Kita Bangsa yang memiliki peradaban melompat. Tidak tertib dan urut. Habis cuci muka langsung cuci kaki. Tidak sah alias batal. Ini menjadikan kita bangsa yang bingung, karena salah meletakkan cermin. Mestinya dihadapkan lurus ke muka sendiri, malah melenceng sehingga yang justru tampak adalah wajah orang lain. Dan akhirnya kita mengira, itu wajah kita sebenarnya. Imajinasi yang diimajinasikan sebagai kenyataan. Absurd.

Tugas Bre Redana sebagai pembaca masyarakat sudah tuntas. Tidak ada cela. Selanjutnya, hasil pembacaan ini harus sebanyak mungkin ditangkap oleh masyarakat dan para pemimpin. Karena tanpa kesadaran bersama, maka kita akan lelah dalam perdebatan. Perdebatan yang tidak pernah jelas ujungnya karena memulai dari asumsi yang berbeda. Membaca masyarakat dengan tepat sebagai basis kebijakan dan diskusi adalah mutlak. Jika tidak, semua kata-kata akan menjadi busa yang tidak jelas arahnya karena tidak ada pijakan.

Namun, berapa yang mau membaca? Meski Om Bre Redana sudah membantu kita mematakan. Namun berapa yang mau membaca hasil pemetaannya. Berapa orang yang kemudian setelah membaca mengacuhkan  bahkan menghindarinya, karena merasa disinggung dan tersinggung karenanya.

Meski begitu, apa iya, setiap kita harus menunggu? Menunggu siapa yang mau berbuat apa? Tidak. Ada kutipan kalimat lain yang sekiranya bisa mendorong kita untuk berperan. "Yang melanggengkan ketidak adilan dan kejahatan di muka bumi ini tidak lain adalah karena orang-orang baik yang tak acuh dan tidak perduli hanya memilih hidup dengan dirinya sendiri, dan berharap surga dari tidak adanya kesalahan yang ia lakukan karena memang ia tidak pernah berbuat apa-apa." Ini saya lupa, mendapat inspirasi darimana, tapi jelas formula bahasa adalah desain saya sendiri.

Kutipan di atas, setidaknya mengandung dua hal. Pertama, setiap kita memiliki tanggung jawab atas berlangsungnya semesta secara mikro maupun makro. Kedua, peran setiap kita adalah sejauh apa yang bisa kita jangkau. Sebagai bagian dari warga bangsa, yang bisa dilakukan apa? Menularkan pemahaman positif sehingga setiap kita sadar di mana posisi kita dalam peradaban umat manusia yang besar ini. Caranya bisa bermacam-macam, bahkan mungkin sekedar ngerumpi, bisa kita jadikan media bersama menumbuhkan kesadaran itu.

Berbeda jika anda adalah barisan pemimpin pengambil kebijakan. Membaca dan menentukan posisi titik dalam pusara peradaban menjadi penting. Kemudian sampaikan, kampanyekan, dan gaungkan, suntikkan kesadaran itu kepada warga. Sehingga kita bisa bergerak bersama dari pijakan yang seragam. Sebaik dan sebagus apapun asumsi program yang dibuat, jika dilihat dari sudut pandang yang berangkat dari titik berbeda, itu tidak akan berarti apa-apa.

Maka Confusius mengingatkan, yang pertama harus dilakukan oleh pemimpin adalah memastikan bahwa mereka dan semua warganya memiliki kesepahaman bersama. Siapa mereka, sampai di titik mana, dan akan kemana dengan cara bagaimana. Jika itu saja gagal, jangan berharap lebih.

Syarif_Enha@Sorogenen, 21Mei2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun