Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kita Enggan Memaafkan?

1 Juni 2020   06:35 Diperbarui: 1 Juni 2020   06:59 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tradisi kita mengajarkan sesuatu yang kurang tepat memang, kita seringkali maafkan apa yang disengaja dan tidak disengaja, memaafkan yang kita ketahui dengan jelas atau tidak kita ketahui. Ini kan namanya memberi maaf dengan sistem borongan. Ada satu cela dalam konsep memaafkan seperti ini. Meskipun sistem ini sangat menunjukkan bahwa budaya kita pada dasarnya adalah budaya damai dan mudah memaafkan. Namun kita mesti prosporsional, tahu apa yang kita maafkan paling tidak.

Dengan sistem borongan seolah semua perbuatan pelaku dimaafkan semuanya, tanpa kecuali, bahkan pada persangka-persangka jahat pelaku pada diri kita, semua kita maafkan. Tapi jelas maaf itu hanya berlaku pada peristiwa yang terjadi, tidak berlaku pada peristiwa yang akan datang. Ini penting kita batasi, jangan sampai kebaikan budaya kita dimanfaatkan oleh rezim normatifitas yang hanya percaya pada teks tertulis, hitam di atas putih.

Seorang dimaafkan karena sudah terlanjur melakukan suatu tindakan yang itu jelas salahnya, dan jelas siapa yang disalahi, sehingga semua masalah selesai. Tapi jika setelah dimaafkan, namun rupanya dalam diri orang yang dimaafkan tidak menerima maaf kita, dalam arti dia tidak menginsafi perbuatannya, tidak menyadari kesalahannya meskipun semua orang yang merasa disakitinya telah memaafkan, maka berarti dia belum dimaafkan oleh Tuhan. Karena maaf itukan perbuatan batin, yang sangat mungkin ditampakkan melalui perkataan maupun perbuatan.

Karena maaf itu perbuatan hati, maka standarnya tidak bisa diberikan secara kaku, bahwa seseorang yang menyatakan dengan kata-kata memaafkan, dalam hatinya belum pasti memaafkan. Ini berat, karena hati manusia itu selalu berbolak-balik, sehingga bisa saja, hari ini memaklumi, pada hari yang lain mengingkari. Namun untuk masalah hukum, yang harus menjadi pegangan adalan apa yang tampak.

Nabi pernah diprotes saat melepaskan seorang tahanan, karena dia mengaku bertobat. Para sahabat mengatakan bisa saja dia itu bohong. Namun Nabi menyatakan bahwa kita hanya tahu apa yang tampak saja. Persoalan isi hatinya adalah urusan dia dengan Tuhannya. 

Begitulah dalam dunia hukum dikenal kaidah "nahkumu bidzowahir", kita menghukumi dengan yang tampak-tampak saja, agar tidak terjadi salah interpretasi dan penafsiran. Inilah kelemahan dan sekaligus keunggulan hukum. Hukum memberikan kepastian yuridis yang menjadi dasar legitimasi untuk melakukan suatu tindakan.

Pada akhirnya, Tuhan itu kan jelas Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, tapi kita kadang yang kurang yakin dengan keyakinan kita. Jangan-jangan Tuhan salah sangka, dikiranya kita sudah memaafkan mereka, sehingga tidak ada pengadilan Tuhan. 

Percayalah, selama kita melakukan yang terbaik bagi orang lain, Tuhan juga akan memberikan yang terbaik pada diri kita semua. Apa sih pentingnya kita menang di hadapan manusia, dibandingkan menang di hadapan Tuhan...?

Syarif_Enha@Semarang_2009
*Pernah dimuat dalam Majalah Pesan Trend Edisi II/Mei Th. 1/2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun